"Andai saya diharuskan menyebutnya begitu, ndak akan mengurangi sedikit pun birrul walidain saya pada panjenengan, Bu!"Â
"Birrul ...?"
"Birrul walidain. Berbakti pada orang tua."
"Tapi orang tuamu ini bukan hambanya Allah-mu, Le."
"Allah mewajibkan kami berbakti pada orang tua, Bu. Bahkan kata 'ibumu' disebut di awal. Tiga kali. Baru 'ayahmu', satu kali saja."
Eyang Uti terdiam.
"Tanpa syarat loh, Bu. Ndak ada tuh, kalimat 'asalkan orang tuamu juga muslim'."
Aku ingat betul sesemringah apa wajah nenek saat itu. Sama berseri-serinya tatkala melihatku asyik menghias pohon Natal tanpa diminta. Sama bungahnya ketika Ibu bersedia mengantar beliau ke gereja naik Vespa.
Mengenang nenek belum sempurna tanpa teringat kemarahannya. Eyang Uti berhasil mengendus kedekatanku dengan Mas Bayu. Laki-laki baik berkalung salib.
Di sepenggal senja yang muram, Eyang Uti berkata pada Mas Bayu di hadapanku, "Aku sangat berharap, kamu ndak pergi dari Tuhanmu. Tapi, jangan juga mengambil Monik dari Tuhannya."
Sebab perkataan itulah, kami merenungi  kembali hubungan yang sulit dipersatukan tanpa menyamakan keyakinan. Aku dan Mas Bayu bersepakat hati melepas segala rasa yang sempat bersemi. Tak mungkin bagi kami menukar Sang Maha Cinta demi alasan ikatan semata.Â