"Apa yang terjadi kali ini?"
Kinanti menatapku dalam bisu. Matanya yang sayu dan berkaca-kaca membuatku tak kuasa menahan iba bercampur geram. Bukankah trauma telah mengajarkannya dengan amat keras arti melindungi diri dari apa pun? Terlebih atas nama cinta. Mengapa bisa kembali terbentur-bentur hancur selepas berkali-kali tersungkur?
"Apa lagi kali ini?" ulangku. Lebih  seperti membentak daripada bertanya.
Kinanti menggeleng lemah, tetapi air matanya mengalir deras. Lebih deras dari Oktober setahun lalu.
Awal tahun lalu aku melihat Kinanti sangat bahagia. Cinta seorang penerbang mengubahnya bak musafir dahaga menemukan mata air di gurun pasir. Aku bersukacita, meskipun rasa cemburu turut serta. Harusnya aku yang membuat Kinanti sedemikian gembira.
Miko memutuskan kembali pada mantan istrinya. Begitu ucapan Kinanti mengurai alasan singkat mengapa acara pernikahan dengan sang penerbang yang tinggal dua pekan, gagal dilaksanakan.Â
Dia hanya menitikkan air mata, lalu menghabiskan hari-hari di bulan Oktober tahun itu untuk menghibur ibunya. Tak pernah kudengar lagi berita dari Kinanti.
Sekarang tanggal satu Oktober.
"Apa lagi kali ini?" Aku mendesak sebab ia mulai terisak-isak.
"Aku mencintainya. Tak tahu mengapa, sungguh-sungguh mencintainya, Wis," jawabnya disertai tangis yang semakin memilukan.
"Siapa? Lantas kenapa?"