"Kenapa dia bisa jadi begitu, Pak?" Sesungguhnya itu pertanyaaan basa-basi.
Walaupun sudah hafal dengan jalan cerita di balik kegilaan Seto pada pintu, ia masih ingin mendengarnya. Padahal, setiap kata bakal membuat hatinya kian berkecamuk.
Sambil mengangkat pisang goreng, Kang Loso menjawab, "Seto stres berat, Mas. Masih terhitung manten anyar*, eh ditinggal mati istrinya."
Tatapan Pras seketika beralih ke jalan raya di sebelah barat. Pandangannya kosong. Cangkir kopi yang sudah dia angkat, diletakkan kembali, tak jadi disruput. "Kasihan," gumamnya.
"Seto terpukul. Dia merasa bersalah banget, Mas. Menurutnya, Umayi mati gara-gara dia. Gara-gara terlambat menjemput istrinya sore itu."
Hening sesaat.
Tanpa diminta, Kang Loso melanjutkan cerita sambil menata gorengan di nampan plastik. Pras masih di tempat semula, tekun memandangi jalan raya di sebelah barat.
"Seto ngengkel* kepingin istrinya dikubur di belakang rumah saja. Malah saking stresnya, dia nganggep Umayi menjelma jadi pohon jati yang kebetulan tumbuh di sebelah kuburan."
Lagi-lagi Pras bergumam, "Kasihan."
"Ya, kasihan dia. Yang nabrak istrinya malah kabur begitu aja. Blas ndak tanggung jawab. Hidup senang-senang di atas penderitaan Seto."
Â
Pras sempat melirik Kang Loso sebelum kembali melamun.
Delapan tahun lalu, di jalan raya yang sejak tadi Pras pandangi, terjadi kecelakaan tunggal. Umayi terserempet sedan yang tengah melaju kencang ke arah Grobogan. Perempuan itu langsung ambruk, kepalanya membentur aspal. Detik berikutnya hanya ada dua kejadian. Darah yang mengalir deras dari kepala Umayi dan laju mobil yang kian cepat.