***
Laki-laki di seberang jalan tadi masih saja terpaku menatap Seto. Sampai-sampai Kang Loso--pemilik warung kopi tempatnya singgah--berusaha menarik perhatian dengan berkata, "Dia ndak waras, Mas. Seperti itu kebiasaannya saban jam segini."
"Namanya Seto kan, Pak?" tanya si orang asing.
"Iya, benar. Kayaknya, Mas bukan warga sini, ya?"
Dia hanya menggeleng pelan dan tidak berkata apa-apa lagi. Setelah menyesap kopi, lelaki bertubuh tegap itu kembali memandangi Seto. Tatapannya sendu seolah-olah turut prihatin. Beberapa kali dia meremas kepalanya, lalu mendengkus.
Kang Loso tak mampu menahan penasaran. "Njenengan dari mana? Kenal sama Seto?"
"Semarang. Ummm, e-enggak. Sa-saya nggak kenal."
Jawaban gugup yang terdengar dingin tersebut membuat Kang Loso memilih tutup mulut. Dia biarkan si tamu memandangi Seto sepuasnya. Pemilik warung itu lalu melanjutkan kegiatannya membuat gorengan.Â
Sebenarnya, bukan baru satu kali lelaki tampan itu datang. Sudah tiga kali dia menyambangi desa ini. Kedatangan pertama, ingin memastikan kebenaran sebuah berita.Â
Pras--laki-laki yang tadi mengaku dari Semarang--mendengar kabar bahwa Seto jadi gila. Namun, setelah mendapati kenyataan menyedihkan tentang Seto, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berharap laki-laki itu segera sembuh, tidak lagi memeluk dan menciumi pohon jati.
Tiga tahun lalu, kemunculannya yang kedua untuk menjenguk. Sudah sembuh atau belum, Pras bertekad ingin meminta maaf pada Seto. Akan tetapi, urung dilakukan. Seperti sebelumnya, ia hanya memandangi laki-laki gila itu dari kejauhan, lalu pergi. Membawa rasa sesal yang kian mengganjal. Merutuki diri sendiri sebagai pengecut paling terkutuk.
Ini kali ketiga.