Dugaanku benar. Hari ini, Gendis memakai pakaian yang sama lagi. Rok seragam abu-abu dipadu kaus oblong putih bergambar monyet cokelat di bagian dada. Begitu lagi, begitu lagi. Selama kami ikut bimbel sebulan terakhir ini, tidak pernah sekali pun aku melihat dia berbeda penampilan. Entahlah, itu kaus yang sama, atau mungkin Gendis punya selusin kaus serupa.
Bagiku, meskipun berkulit sawo matang, Gendis itu manis. Tiap kali tertawa, matanya menyipit hampir terpejam. Pipinya yang berlesung membulat seperti bakpau, sangat menggemaskan. Namun sayang, aku belum pernah membuat Gendis tersenyum, apalagi tertawa lepas. Sekadar berbasa-basi pun belum pernah.
Semua rasa yang entah apa, hanya bergejolak dalam dada. Bahkan, aku tahu nama gadis itu, ketika ada teman bimbel yang berteriak memanggilnya. Kami belum berkenalan secara langsung.
"Ya, ngobrol dong, Zam. Payah lu, ah! Gitu aja, nggak berani! Kapan elu bisa punya cewek?" ejek Fahmi, saat kami membicarakan Gendis.
"Tapi, gue belom kenalan sama dia, Mi. Entar dikira sok akrab lagi."
"Ah, ribet amat sih, lu! Jadi cowok tuh, gaspol aja. Gak usah banyak pertimbangan."
Fahmi benar. Aku memang cowok peragu, terlalu banyak pertimbangan. Takut begini, takut begitu. Ujung-ujungnya, mundur sebelum mencoba.
"Lah, malah bengong. Cepet deketin, Zam! Nanti si monyet cokelat keburu disamber orang, tauk!" Fahmi menepuk bahuku lumayan keras. Di wajahnya ada senyum puas meledek.
"Kasar lu, Mi. Namanya Gendis, bukan Monyet Cokelat."
"Gue tau! Lagian, itu cewek aneh banget, sih. Yang laen bajunya pada up to date. Fashionable, gitu. Lah si Gendis, itu meluluuu."
Akhirnya, kami malah membahas kaus Gendis. Latihan soal-soal fisika tidak lagi jadi perhatian. Beralih ke gambar monyet cokelat yang wajahnya tampak sedih.