Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Wayang Kardus Berwajah Monyet

13 Mei 2020   13:12 Diperbarui: 13 Mei 2020   14:56 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wayang Kardus Berwajah Monyet
Oleh: Ika Mulya

Aku menyesal telah mengajak Rian ke rumah. Dia jadi tahu, bapakku cuma pedagang mainan yang mangkal di depan sekolah dasar, kadang keluar masuk kampung. Di gerobak bututnya, bapak menjual aneka mainan murah meriah. Keuntungan yang didapat tidak seberapa, tetapi beliau sangat mencintai pekerjaannya. Ah, memang aneh bapakku itu!

Rian juga jadi tahu, ibuku cuma buruh cuci setrika. Wong kere. Hmmm, begitulah status ekonomi keluarga kami di permukiman padat penduduk ini. Tidak bisa ditutup-tutupi. Rasanya malu sekali.

Argh! Aku jadi khawatir. Jangan-jangan ... Rian seperti beberapa kawan sekolah lain. Tidak mau berteman denganku. Ya, denganku. Pramesti, dipanggil Esti. Si cewek miskin yang kudet, jauh dari keren, dan tidak punya ponsel. Memang parah keadaanku ini, tetapi apa mau dikata.

Ya, sudahlah. Kalau memang Rian juga seperti mereka, mau bagaimana lagi. Nasib, oh, nasib.

Kuperhatikan Rian tidak banyak bicara. Hanya senyum-senyum, tanpa bisa kupahami apa maksudnya. Apakah dia tengah mengasihani keadaan kami, atau mengagumi. Ah, jelas bukan yang terakhir. Apa yang bisa dikagumi dari sebuah kemiskinan?

"Esti, ini apaan?" tanya teman sekelasku itu. Diambilnya satu wayang kardus yang tergeletak di sudut teras.

"Wayang-wayangan," jawabku singkat.

Dia pandangi wayang yang terbuat dari kardus bekas mi instan. Oleh bapak, tubuhnya dibuat menyerupai orang gendut, berperut buncit, tetapi bermuka monyet. Lalu diberi warna cokelat dengan cat air. Mainan yang dipegang Rian itu belum jadi. Dua tangannya belum dipasangi tali dan gagang kayu agar bisa digerak-gerakkan.

Aku penasaran, mengapa Rian terus memandangi wayang kardus berwajah monyet. Apa yang ada di pikirannya?

Tanpa mengalihkan tatapan, Rian lalu berkata, "Gue baru liat mainan kayak gini. Lucu banget. Hahaha."

"Lucu apanya? Bilang aja jelek! Gak apa-apa, kok!"

"Sumpah! Ini tuh unik, tauk!"

Entah Rian jujur atau tidak. Yang jelas seperti ada kesejukan membelai hatiku. Rasanya nyaman sekali.

Kujelaskan saja bahwa benda tersebut salah satu mainan favorit bapak di masa kecilnya. Hiburan murah meriah bocah-bocah kampung. Tentu saja sekarang ini, tidak ada lagi anak-anak yang mau bermain wayang-wayangan kardus. Lebih asyik main game online atau mobil-mobilan ber-remote control.

Bapak ngotot ingin melestarikan wayang kardus, meskipun hanya satu atau dua orang saja yang membeli. Itu pun orang dewasa yang ingin bernostalgia. Selesai difoto, dipamerkan di akun media sosial mereka, lalu entah diapakan. Mungkin dibuang. Begitu bapak pernah bercerita.

"Unik."

Hanya satu kalimat yang keluar dari mulut Rian. Namun, aku dapat menangkap binar-binar kejujuran di matanya. Baru kali ini ada yang memuji mainan buatan bapak. Aku sendiri menganggap benda itu jelek. Mainan yang tidak seru! Bahkan ketika bapak memeragakan cara memainkan wayang kardus di depanku dan adik-adik, tidak ada satu pun dari kami yang tertarik. Padahal beliau sudah berakting jadi dalang selucu mungkin.

"Oh, iya. Mana buku catatan kimia lo?"

Aku memang mengajak Rian ke rumah untuk mengambil buku yang ingin dia pinjam.

"Nih!"

Kuserahkan buku yang dimaksud, tanpa berani menatap wajahnya. Khawatir dia bisa membaca sebaris harapan di mata ini. Ya, aku berharap Rian tidak cepat-cepat pulang.

"Secepetnya gue balikin. Ummm, boleh nggak, kalo gue beli satu wayang-wayangan ini? Berapa harganya?"

Pertanyaan Rian membuatku jadi gugup. Ingin memberinya secara cuma-cuma, tetapi takut dimarahi bapak. Menerima bayaran, juga tak enak hati. Cowok pendiam satu ini sudah sering memberiku fotokopian gratis.

"Ambil aja, nggak usah bayar. Ini yang udah jadi. Emang buat apaan, sih? Kek anak kecil aja, lu!" Akhirnya, kalimat itu yang terucap. Soal bapak, bagaimana nanti saja.

"Hahaha, kepooo."

"Dih, gitu!"

"Hahaha, nanti gue ceritain. Sekarang, gue pamit dulu. Makasih ya."

***

Beruntung bapak diam saja, saat kukatakan ada teman yang minta wayang-wayangannya. Padahal aku sudah menyiapkan jawaban, andai beliau marah. "Siapa tau mo dibikin viral. Bapak pasti bangga, dong." Begitu kira-kira. Itu jauh lebih sopan daripada aku bilang, "Mainan jelek aja diributin."

Apa yang kukhawatirkan tidak terjadi. Rian tidak menjauh. Semua berjalan biasa-biasa saja seperti semula. Dia masih jadi cowok pendiam yang sulit ditebak. Perhatian, tetapi bukan hanya padaku. Karenanya, aku tidak berani merasa istimewa. Apalagi banyak teman di sekolah yang suka pada Rian. Si ganteng yang kalem, pinter dan jagoan basket.

Semua perasaan yang sempat tumbuh, kupendam dalam-dalam, sebelum menjalar liar tak karuan. Aku harus tahu diri daripada sakit hati, lantaran cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Seminggu sudah berlalu. Rian belum juga menceritakan untuk apa wayang monyet cokelat yang dia bawa. Prasangka jelekku mengatakan, benda itu sudah jadi sampah.

Batinku berteriak, 'Udah woyyy, lupain aja! Gosah kepo!'

"Estiii!"

Sebuah panggilan terdengar tepat setelah guru matematika keluar kelas. Bel istirahat baru saja berbunyi. Aku menoleh ke sumber suara. Itu suara Rian. Teman-teman di kelas, ikut menatap orang yang berteriak tadi.

Rian tersenyum, lalu bangkit dan menghampiriku. Cowok jangkung berambut ikal itu membawa wayang kardus berwajah monyet cokelat. Namun, ada yang berbeda dari mainan buatan bapakku. Tangan wayang-wayangan mengapit sebuah kartu warna merah muda.

"Esti, ini buat lu. Baca, ya," pinta Rian. Senyumnya kian mengembang. Tangan wayang kardus dia gerakkan, menyodorkan benda tipis selebar kartu pos kepadaku.

Dada ini berdebar-debar. Hatiku dipenuhi tanda tanya. Kartu apa ini? Kenapa pakai bawa-bawa wayang kardus segala? Apakah Rian akan mengolok-ngolok aku? Memberi tahu teman-teman sekelas bahwa bapakku cuma tukang mainan? Mainan jelek pula.

Yang bisa kulakukan hanya mengiyakan permintaan Rian dengan mengangguk. Tak sanggup berkata-kata.

Kartu kuambil. Ada harum peppermint yang menguar samar. Perlahan kubuka, dan terlihatlah tulisan tangan dengan pulpen hitam tepat di samping gambar hati: 'I love you, Pramesti. Mau gak jadi pacar gue?' Di bawah kalimat itu tertera nama 'Adrian'.

"Gue sayang sama lo, Esti."

Kalimat itu terdengar jelas. Sejelas riuh sorai teman sekelas. Selantang genderang riang di dalam hati. Wow! Sayang sama aku? Ini bukan mimpi, 'kan?

"Ummm, eh. Umm, iya. Gu-gue ... gue juga. Itu ... gue suka banget sama lo." Malu-malu kukatakan jawaban. Suara seperti tertahan, tetapi kuyakin Rian mendengar.

Ini pertama kalinya aku jadi suka wayang-wayangan buatan bapak. Entah mengapa, di tangan Rian mainan itu tampak lucu. Terlihat menarik. Mungkin karena ... dipegang dengan rasa cinta. Ah, terima kasih monyet cokelat, telah jadi perantara ungkapan rasa.

Aku tidak menyesal sudah mengajak Rian ke rumah. Membuat cowok bermata elang itu membawa mainan yang sebelumnya kuanggap hanya sampah. I love you too, Adrian. Hari ini sungguh indah.

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun