Seminggu sudah berlalu. Rian belum juga menceritakan untuk apa wayang monyet cokelat yang dia bawa. Prasangka jelekku mengatakan, benda itu sudah jadi sampah.
Batinku berteriak, 'Udah woyyy, lupain aja! Gosah kepo!'
"Estiii!"
Sebuah panggilan terdengar tepat setelah guru matematika keluar kelas. Bel istirahat baru saja berbunyi. Aku menoleh ke sumber suara. Itu suara Rian. Teman-teman di kelas, ikut menatap orang yang berteriak tadi.
Rian tersenyum, lalu bangkit dan menghampiriku. Cowok jangkung berambut ikal itu membawa wayang kardus berwajah monyet cokelat. Namun, ada yang berbeda dari mainan buatan bapakku. Tangan wayang-wayangan mengapit sebuah kartu warna merah muda.
"Esti, ini buat lu. Baca, ya," pinta Rian. Senyumnya kian mengembang. Tangan wayang kardus dia gerakkan, menyodorkan benda tipis selebar kartu pos kepadaku.
Dada ini berdebar-debar. Hatiku dipenuhi tanda tanya. Kartu apa ini? Kenapa pakai bawa-bawa wayang kardus segala? Apakah Rian akan mengolok-ngolok aku? Memberi tahu teman-teman sekelas bahwa bapakku cuma tukang mainan? Mainan jelek pula.
Yang bisa kulakukan hanya mengiyakan permintaan Rian dengan mengangguk. Tak sanggup berkata-kata.
Kartu kuambil. Ada harum peppermint yang menguar samar. Perlahan kubuka, dan terlihatlah tulisan tangan dengan pulpen hitam tepat di samping gambar hati: 'I love you, Pramesti. Mau gak jadi pacar gue?' Di bawah kalimat itu tertera nama 'Adrian'.
"Gue sayang sama lo, Esti."
Kalimat itu terdengar jelas. Sejelas riuh sorai teman sekelas. Selantang genderang riang di dalam hati. Wow! Sayang sama aku? Ini bukan mimpi, 'kan?