Tanpa mengalihkan tatapan, Rian lalu berkata, "Gue baru liat mainan kayak gini. Lucu banget. Hahaha."
"Lucu apanya? Bilang aja jelek! Gak apa-apa, kok!"
"Sumpah! Ini tuh unik, tauk!"
Entah Rian jujur atau tidak. Yang jelas seperti ada kesejukan membelai hatiku. Rasanya nyaman sekali.
Kujelaskan saja bahwa benda tersebut salah satu mainan favorit bapak di masa kecilnya. Hiburan murah meriah bocah-bocah kampung. Tentu saja sekarang ini, tidak ada lagi anak-anak yang mau bermain wayang-wayangan kardus. Lebih asyik main game online atau mobil-mobilan ber-remote control.
Bapak ngotot ingin melestarikan wayang kardus, meskipun hanya satu atau dua orang saja yang membeli. Itu pun orang dewasa yang ingin bernostalgia. Selesai difoto, dipamerkan di akun media sosial mereka, lalu entah diapakan. Mungkin dibuang. Begitu bapak pernah bercerita.
"Unik."
Hanya satu kalimat yang keluar dari mulut Rian. Namun, aku dapat menangkap binar-binar kejujuran di matanya. Baru kali ini ada yang memuji mainan buatan bapak. Aku sendiri menganggap benda itu jelek. Mainan yang tidak seru! Bahkan ketika bapak memeragakan cara memainkan wayang kardus di depanku dan adik-adik, tidak ada satu pun dari kami yang tertarik. Padahal beliau sudah berakting jadi dalang selucu mungkin.
"Oh, iya. Mana buku catatan kimia lo?"
Aku memang mengajak Rian ke rumah untuk mengambil buku yang ingin dia pinjam.
"Nih!"