Wayang Kardus Berwajah Monyet
Oleh: Ika Mulya
Aku menyesal telah mengajak Rian ke rumah. Dia jadi tahu, bapakku cuma pedagang mainan yang mangkal di depan sekolah dasar, kadang keluar masuk kampung. Di gerobak bututnya, bapak menjual aneka mainan murah meriah. Keuntungan yang didapat tidak seberapa, tetapi beliau sangat mencintai pekerjaannya. Ah, memang aneh bapakku itu!
Rian juga jadi tahu, ibuku cuma buruh cuci setrika. Wong kere. Hmmm, begitulah status ekonomi keluarga kami di permukiman padat penduduk ini. Tidak bisa ditutup-tutupi. Rasanya malu sekali.
Argh! Aku jadi khawatir. Jangan-jangan ... Rian seperti beberapa kawan sekolah lain. Tidak mau berteman denganku. Ya, denganku. Pramesti, dipanggil Esti. Si cewek miskin yang kudet, jauh dari keren, dan tidak punya ponsel. Memang parah keadaanku ini, tetapi apa mau dikata.
Ya, sudahlah. Kalau memang Rian juga seperti mereka, mau bagaimana lagi. Nasib, oh, nasib.
Kuperhatikan Rian tidak banyak bicara. Hanya senyum-senyum, tanpa bisa kupahami apa maksudnya. Apakah dia tengah mengasihani keadaan kami, atau mengagumi. Ah, jelas bukan yang terakhir. Apa yang bisa dikagumi dari sebuah kemiskinan?
"Esti, ini apaan?" tanya teman sekelasku itu. Diambilnya satu wayang kardus yang tergeletak di sudut teras.
"Wayang-wayangan," jawabku singkat.
Dia pandangi wayang yang terbuat dari kardus bekas mi instan. Oleh bapak, tubuhnya dibuat menyerupai orang gendut, berperut buncit, tetapi bermuka monyet. Lalu diberi warna cokelat dengan cat air. Mainan yang dipegang Rian itu belum jadi. Dua tangannya belum dipasangi tali dan gagang kayu agar bisa digerak-gerakkan.
Aku penasaran, mengapa Rian terus memandangi wayang kardus berwajah monyet. Apa yang ada di pikirannya?