"Hmmm, iya." Kujawab sekenanya. "Sekalian buat sahur?" tanyaku penasaran.
"Oh, nggak. Gampang sahur, sih. Anak-anak digorengin nugget, sosis sama telor ceplok juga seneng."
Aku kehilangan kata-kata. Kupandangi meja makannya sekali lagi, lalu pamit. Dia kembali mengucapkan terima kasih.
Sepanjang perjalanan pulang yang hanya 100 meter, terngiang kata 'prihatin' yang Bu Mina ucapkan tadi pagi. Terbayang pula tulisannya di Facebook tentang kesederhanaan hidup.
Aku paksakan diri menerima pelajaran berharga ini. Tetap berprasangka baik pada Bu Mina dan ikhlas. Persis seperti yang kunasihatkan kepada Za.
Namun entah mengapa, dadaku tiba-tiba sesak. Semakin sesak saat pemandangan meja makan Bu Mina dan meja makanku silih berganti berlintasan di otak.
Astaghfirullah. Jangan-jangan aku belum ikhlas.
Kulihat Za berdiri di depan pagar rumah. Cengar-cengir penuh arti.
TAMAT
Jakarta, 3 Juni 2017
Â