Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rainy, My Sweet Pluviophile

23 April 2020   17:32 Diperbarui: 23 April 2020   17:28 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Teruntuk seluruh kata 'desember', di mana pun berada, bisakah kalian enyah? Menghilanglah dari muka bumi ini! Sana, pergi saja ke bulan! Aku benci Desember. Sebenar-benarnya benci!

***

Gadis kutu buku itu bernama Nur Aini. Seperti teman-teman lain, aku memanggilnya 'Nur'. Namun, sejak kami resmi menjadi sepasang kekasih, aku lebih suka memanggil dia 'Rainy'.

"Pake 'y'?" tanyanya manja.

"Iya. Gak apa-apa, kan?"

Dia tersipu, lalu menjawab, "Terserah."

Entah mengapa, setiap Rainy bilang 'terserah', aku bertambah gemas. Gemas ingin mencubit pipinya, lalu memeluk erat-arat dan tidak akan kulepaskan. Lantaran lewat kata itu, dia seakan-akan tengah memasrahkan segalanya. Rainy memberiku sebuah kendali atas nama totalitas cinta.    

Tentu saja panggilan 'Rainy' bukan semata-mata agar terdengar berbeda dari teman biasa. Ada alasan lain yang lebih istimewa. Bagiku, Rainy adalah hujan cinta yang Tuhan curahkan dengan lebat untuk membasahi kerontangnya jiwa ini. 

Perempuan yang pada tiap ucapannya terdapat ribuan titik embun penyejuk hati. Pemilik senyum terindah, yang membuat sekujur tubuhku kuyup dalam deras kerinduan.

Rainy sendiri yang mengaku sebagai phuviophile--pengagum hujan. Menurutnya, aroma petrikor menenangkan jiwa. Di telinganya, suara hujan adalah orkestra alam paling syahdu yang mampu mendatangkan kebahagiaan. Cocok sekali, bukan?

Satu kebetulan lain, kekasihku itu juga lahir di akhir Desember. Lahir di saat bumi nusantara diguyur hujan deras hampir setiap hari. Begitu penuturan Nuraini di awal perkenalan.

Masih dari cerita Rainy. Orang tuanya lebih suka memberi nama Nuraini, yang bermakna cahaya mata, daripada Desi atau Desria. Ternyata benar, putri bungsu mereka memang punya mata indah. 

Yang pada tatap sendunya saja, membuatku merindu. Apalagi ketika manik hitam itu berbinar-binar bahagia, aku seperti sedang jatuh cinta berulang kali. Lagi dan lagi pada orang yang sama, Rainy. Sungguh ajaib!  

Aku mencintai Nuraini dan butuh ribuan lembar HVS untuk menuliskan alasannya satu per satu. Yang jelas, aku suka saat-saat perempuan manis ini sedang sangat ceriwis. Namun, mudah membuat pacarku itu diam membisu dan mendadak serius. Sodorkan saja novel romantis. Beres! Gigitan nyamuk pun tidak akan dihiraukan. Bukan tidak mungkin rasa ingin buang air kecil, juga diabaikan.

"Kamu demen banget sama novel romantis kayak gitu! Apa bagusnya sih?" protesku sebab cemburu. Perhatiannya hanya tertuju pada kisah dalam novel, aku dinomorduakan.

Rainy menutup buku tebal yang sejak tadi dibaca, lantas menatapku sambil tersenyum. "Susah buat ngejelasinnya, Sayang. Kamu baca sendiri, deh. Kali aja bisa jadi cowok romantis kayak di novel-novel!" jawabnya, lalu terkekeh. Dia kembali menekuni halaman demi halaman. Sebal!

Bisa jadi cowok romantis hanya dengan membaca novel? Ah, aku tidak yakin. "Iya, aku bakal belajar jadi cowok romantis! Tapi bukan dari baca novel. Bosen!"

"Hahaha ...." Dalam renyah tawanya, terdengar seakan-akan dia tak meyakini kebulatan tekadku.

Rainy memang gadis romantis. Karena permintaannya, kami perayakan 'hari jadian' setiap minggu. Maka, Kamis menjadi hari istimewa. Ada saja yang dibelinya untukku. Bukan sesuatu yang mahal, tetapi sangat spesial.

Pertama, dia menghadiahiku topi. Benda itu menjadi favoritku sampai sekarang. Rainy juga membeli gantungan kunci dari kayu berbentuk hati. Hingga detik ini, masih kupasangkan dengan kunci motor. Yang terakhir, cangkir keramik dengan huruf 'C' yang dibentuk dari gambar biji-biji kopi.

"C is coffee?" tanyaku ketika menerima benda itu.

Seperti biasa, Rainy berkata, "Terserah menurut kamu apa." Lantas, dia menatapku lembut. "Buatku, C itu cin-ta," lanjutnya.

Oh Rainy, my sweet pluviophile. Aku selalu memakai cangkir itu untuk minum kopi, Sayang. Semua tentangmu--pahit dan manis--berpadu sempurna. Ada sesal paling dalam yang terhidu di setiap sesapanku.

Lalu, apa saja hadiah untuknya? Aku tidak pernah punya ide cemerlang. Karena Rainy selalu menjawab 'terserah', maka kubeli saja novel. Lagi-lagi novel, tak pernah yang lain. Untungnya, selalu kutemukan binar bahagia di mata Rainy. Tak pernah dia protes, apalagi ngambek.

"Nggak apa-apa. Yang pertama komedi romantis, yang kedua ada misteri-misterinya gitu. Aku suka, kok. Terima kasih, Sayang."

Rainy selalu punya sejuta maklum buatku. Betapa semua itu kian menebalkan cinta dalam dada.

***

Entah setan apa yang merasukiku. Tiba-tiba kebosanan mendera. Jemu dengan hubungan yang terlalu manis dan lurus-lurus saja. Aku butuh suatu gelojak. Misalnya saja, dia memaksaku agar menuruti keinginannya. Lalu, merajuk manja, atau sedikit bersitegang pun tak mengapa.

Teman-teman bilang, perempuan makhluk pencemburu sejati. Sebab ucapan itu, beberapa kali aku sengaja bercanda akrab dengan Dea di depan Rainy. Tidak ada tujuan lain, selain memancing kemarahannya. Aku ingin dicemburui. Rasanya pasti bangga, mendapati kekasih tercinta begitu takut kehilangan diri ini. Namun, usaha itu sia-sia.

Kalimat 'Iya, Sayang. Nggak apa-apa, kok', yang sering Rainy ucapkan, seketika menghilangkan greget. Alih-alih menjadi kagum atas sikap penuh pengertiannya, aku justru merasa ada yang lesap dari dada. Hambar, tidak ada lagi debar-debar.

Terlintas bayangan Rainy marah, karena kecewa atas sikapku. Lalu, seperti laki-laki lain, aku pun berupaya merayunya. Membujuk, sekaligus meresapi setiap kata dan tingkah polah seorang kekasih yang sedang ngambek. Melihat bibir tipisnya mengerucut, akibat terlalu kesal. Menikmati beberapa cubitan di pinggang, sebab aku terlambat menjemput.

Ya, semua hanya sebatas khayalan. Tak pernah terjadi apa-apa. Sampai ada suatu bisikan, aku harus mancing kemarahan Rainy lebih serius.

Sebuah rencana telah kubuat, agar Rainy marah. Jika perlu, sampai menangis. Lalu, aku siap memberikan pelukan hangat paling menenangkan. Juga melancarkan rayuan termanis yang kubisa. Letup-letup cinta pasti kembali bergolak, harapku. Harapan paling absurd.

***

Sore itu di awal Desember. Sepulang kuliah, kami berbincang sebentar sebelum berpisah.

"Temenin aku ke Gramed, yuk!" ajak Rainy.

Karena ingin membuatnya kesal, aku menjawab, "Males, ah! Lagi nggak mood ke mall!" Tentu saja itu hanya ucapan dusta yang menyebalkan.

"Ya udah, gak apa-apa. Aku sendiri aja kalo gitu."

Tuh, kan! Kalimat itu lagi.

"Tapi nanti aku jemput. Terus, kita makan bakso Bang Jo. Telpon aja, kalo udah selesai hunting bukunya," janjiku.

Rainy mengangguk dan tersenyum. Kemudian, dia memesan ojek online. Aku heran, mengapa tiba-tiba senyumnya itu terlihat sangat manis. Jauh lebih manis dan lembut dari biasanya.

Hampir saja aku meminta Rainy membatalkan order ojek online. Di sore yang mendung itu, aku ingin bersamanya. Namun, ada bisikan yang menahan keinginan.

Kekasih hati pergi, tanpa kutemani.

Satu setengah jam kemudian ada panggilan masuk. Di layar ponsel jelas tertera nama 'My Rainy'. Sengaja tak kuangkat. Tiga panggilan kemudian berstatus 'tak terjawab', disusul dua baris pesan.

[Lagi tidur, ya?].

[Aku pulang naik ojol. Aku nanti mampir kosan kamu bawa bakso Bang Jo, ya. Kayaknya enak ujan-ujan gini makan bakso.]

Ahh, dia bahkan tidak marah sedikit pun. Hatiku setengah luluh pada kebaikan dan kesabaran Rainy. Namun separuhnya lagi, masih ingin membuat dia kesal.

Selang lima menit dalam kebimbangan, barulah kubalas pesan itu.

[Maaf ya, Sayang. Aku gak jadi jemput. Mager berat].

[It's ok.]

Sekarang sudah awal Desember lagi. Setiap sore, hujan deras mengguyur kota kami lagi. Rainy tak pernah mampir ke kosanku. Mi bakso yang dulu jadi makanan favorit, kini sangat kubenci.

Rainy? Di tengah hujan deras itu dia pulang naik ojek online, tetapi tidak pernah sampai ke rumah atau ke kosanku. Motor yang membawanya tergelincir dan masuk ke bawah truk yang tengah melaju. Orang-orang menyayangkan pengemudi yang tidak hati-hati. Namun sesungguhnya, semua salahku. Mengapa aku tak menjemputnya, di awal Desember yang basah itu.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun