Masihkah menginginkanku jadi pendampingmu?
Sesederhana itu pertanyaanku, Sayang. Seringan embusan angin yang mengantarkan hening pada persuaan kita di sini. Ya, di teras rumahmu ini, yang masih saja kuimpikan sebagai tempat terbaik menghabiskan sisa usia.
Detik berdetak. Senyap terus merayap. Sebaris pertanyaan kian mengendap.
Kau dan aku kini bak petarung yang sedang terdesak di sudut paling gelap. Bahkan lentera asa dan bara tekad yang sempat menyala-nyala tak cukup jadi penerang. Jalan keluar terlalu gelap, juga sempit. Sedemikian menghimpit hingga kita lupa bahwa masih ada doa-doa yang bisa dilangitkan. Setidaknya, begitulah yang saat ini berputar-putar di benakku.
"Jadi kau hanya akan berdoa agar ibumu merestui kita?" Kata-katamu menyiratkan keraguan terhadap kekuatan doa. "Sampai kapan begini terus?" Semakin jelas gurat ketidakberdayaan kau tampakkan.
Duhai lelaki kesayangan, tentu saja tidak hanya doa. Beribu penolakan telah jelas-jelas kutunjukkan pada mereka. Tidak ada yang mampu melepas selubung cintamu yang telah membebat kuat hati ini. Tidak akan ada. Siapa pun itu. Tidak juga dia yang bergelimang harta, ataupun kedudukan.
"Lalu?"
Seketika aku merasa kau tengah menghujamkan tantangan besar lewat tatapan mata. Pada manik cerlang itu, kau juga sedang mengukur kedalaman cintaku, bukan? Siapa takut!
Demi kau, lelaki pemilik senyum paling menawan, akan kubuktikan. Meskipun berkali-kali air mata pernah tumpah ruah, perempuan yang kau sayangi ini pantang menyerah. Aku petarung cinta sejati.
"Tak terbesit sedikit pun aku meragukan cintamu. Tapi, di titik ini, buatlah aku memantapkan langkah majuku, Sayang."
Separuh jawaban sudah kugenggam. Kau masih ingin bertarung. Setengahnya lagi masih tertutup aura ketidakyakinan. Sulit kuraih, kecuali melesapkan seluruh kecemasanmu lebih dulu.