Belum sempat menapakkan kaki di Tanah Papua sudah terbayang akan bahaya malaria. Alasan ini membuat orang enggan berkunjung atau bertugas ke pulau yang eksotik itu. Seolah-olah kalau ke Papua, pulang tinggal nama. Sampai-sampai  yang terlanjur berangkat berusaha mempersingkat kunjungannya. Oh...alangkah sedikit informasi tentang hewan cilik yang mematikan itu.
Kalau ketakutan berlebihan dikembangkan, maka kita tidak bisa menyaksikan langsung keindahan panorama alam asli tropis yang diakui dunia, kaya sumberdaya fauna dan flora yang beragam tinggi. Belum manusianya yang kaya dengan kultur jaman batu, tradisi dan bahasa yang beragam pula. Kekayaan tersebut menjadi incaran para peneliti, pengembara, dan wisatawan mancanegara. Kalau saya uraikan seluruh obyek kunjungan tak cukup ruang untuk ditulis di halaman ini.
Malaria bagi kita adalah hal yang kecil di tengah sejarah Papua bak raksasa yang sedang tidur. Tidak perlu takut dengn penyakit malaria tersebut. Toh di Jawa penyakit demam berdarah yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegepty lebih sadis dibandingkan nyamuk Anopheles penyebab penyakit malaria papua. Bukankah di kota-kota besar lain Indonesia hampir setiap jam terjadi peristiwa yang mengerikan lagi menghilangkan nyawa manusia?Â
***
Bagi masyarakat Papua malaria bukan hal yang luar biasa lagi. Menjadi makanan sehari-hari. Setiap sakit kepala dan demam sudah dipastikan malaria (?). Malaria Papua memiliki ragam indikasi dan penyebutannya. Bila diawali dengan rasa demam dan mual mereka menyebutnya malaria biasa, selanjutnya ada yang memberi nama  malaria perut dan malaria tulang. Tergantung organ tubuh yang terasa sakit. Benar juga, setelah diadakan pemeriksaan yang lebih ringkas yang disebut RDT (Rapid Diagnostic Test) di laboratorium, hasilnya positif malaria. Dengan demikian masyarakat sangat mengerti cara mengobatinya sendiri atau segera dibawa ke tempat pengobatan terdekat.
[Trauma Sejarah Kematian]
Dari mana asal malaria papua menjadi terkenal? Sejarah ganasnya gigitan nyamuk papua mulai terdengar ketika banyaknya tawanan kaum pergerakan Indonesia yang tewas di Boven Digul Papua pada tahun 1926. Kondisi penjara yang sumpek dan sempit di belantara hutan dan hilir sungai Digul tersebut banyak tahanan politik yang tewas akibat malaria tropika. Tidak bisa diselamatkan karena terlambat diobati oleh bagian kesehatan tentara Belanda.
Demikian juga dari cerita-cerita eks tentara pembebasan Irian Barat yang diterjunkan di hutan belantara Papua pada tahun 1960-an. Banyak prajurit yang sakit bahkan meninggal karena malaria. Bahkan bagi pendatang yang baru bermukim di Papua belum dikatakan menjadi orang Papua kalau belum "berkenalan" dengan malaria. Dari riuh kabar itulah menjadi momok untuk ke Papua.
[Tak Perlu Ditakutkan]
Memang Papua sebagai daerah endemik malaria. Tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan sudah ditemukan cara pencegahan dan pengobatannya. Bahkan Pemerintah gencar melakukan kegiatan eliminasi malaria dalam bentuk program pencegahan dan pengobatan. Terakhir, kunjungan Menkes RI bersama Presiden Jokowi menyatakan bahwa angka penderita penyakit malaria di Papua berhasil diturunkan pada tahun 2017 ini.Â
Tidak ada alasan bagi orang untuk takut berkunjung ke Papua gara-gara malaria. Karena penyakit tersebut hanya endemik di Papua maka yang terjangkit tentu orang yang tinggal di Papua saja. Dari 80 spesies nyamuk penyebab malaria (nyamuk Anopheles) hanya 24 spesies yang menyebabkan penyakit malaria. Suburnya nyamuk bersarang di bumi cenderawasih itu tidak lepas dari kondisi ekologi dan iklim tropis basah. Nyamuk senang hidup di wilayah tutupan hutan yang lebat dan dataran rendah pesisir, lembah, sungai dan danau.
Rasa takut dan cemas terhadap malaria papua adalah hal yang wajar. Sebuah bentuk kewaspadaan. Rasa takut adalah reaksi dari fight and flight response yang muncul secara alamiah pada manusia untuk menghadapi bahaya. Secara psikologis bisa sebagai pertahanan diri manusia yang diberikan Tuhan untuk menyembuhkan rasa takut. Kalau secara biologis adanya peningkatan peredaran darah ke otak. Tanda orang sehat.
[Faktor Budaya Menghambat]
Ditambah lagi dengan faktor sosial budaya ikut menghambat kebiasaan hidup sehat bagi masyarakat Papua. Masih ada kepercayaan bahwa orang sakit dan kematian yang mendadak disebabkan oleh mahluk jahat yang disebut swanggi. Pengobatan masih menggunakan "orang pintar" atau dukun setempat, tidak percaya dengan mantri kesehatan atau bidan yang bertugas. Bidan atau dokter mengalami kendala ketika bertugas di sana. Kematian ketika ditangani oleh paramedis (dokter dan bidan) bisa menjadi bumerang karena akan dituntut oleh keluarga yang meninggal.
Belum lagi kendala fasilitas kesehatan terutama yang bermukim di pedalaman. Banyak orang sakit tidak bisa tertolong karena terlambat ditangani oleh para medis. Puskesmas pembantu memiliki tenaga, peralatan, dan obat-obatan yang sangat terbatas. Penyakit berat sulit dirujuk karena harus berhari-hari atau menggunakan pesawat untuk mencapai rumah sakit rujukan.
Tidak semua orang menjadi sasaran nyamuk anopheles. Yang menjadi mangsa kebanyakan kepada ibu-ibu hamil. Hasil penelitian di rumah sakit MM Timika pada tahun 2004-2006 lalu, dari 2.046 ibu hamil diketahui 35,2% sakit malaria saat hamil dan 16,8% pada saat melahirkan.
Mengapa ibu-ibu hamil di Papua rentan malaria? Disebabkan karena kaum perempuan di Papua memiliki beban kerja yang lebih besar dibanding pria. Selain bekerja di dalam rumah seperti memasak dan mengasuh anak juga dibebani pekerjaan di luar yaitu di kebun. Sebagai isteri memiliki tanggung jawab karena sudah dibayarkan mas kawin oleh pihak laki-laki. Kondisi fisik yang melelahkan sangat rentan terkena penyakit malaria.
Juga menjadi aneh ketika ada program kelambunisasi yaitu membagi kelambu -- alat pencegah nyamuk ketika tidur -- secara gratis kepada masyarakat. Tapi yang terjadi, kelambu tersebut dimanfaatkan sebagai alat untuk menjaring ikan di laut atau di sungai.
[Akar Masalah: Rentan Gizi]
Bukan saja kematian di Papua disebabkan oleh malaria. Seperti peristiwa kematian akibat campak di Kabupaten Asmat Papua saat ini lebih disebabkan oleh faktor asupan gizi masyarakat yang belum tercukupi. Tidak terpenuhi zat gizi sangat rentan terhadap terjangkitnya penyakit endemik papua seperti malaria, TB, kaki gajah, campak, kulit, dan HIV/Aids.
Terpenuhinya gizi tergantung dari ketersediaan, kualitas, dan kebiasaan pangan masyarakat itu sendiri. Makanan pokok di Papua yang terdiri dari sagu dan ubi-ubian hanya terpenuhi akan karbohidrat, namun kurang protein dan vitamin. Kekurangan gizi harus terpenuhi dari protein hewani (daging, ikan, telur dan susu) dan nabati yang kaya akan vitamin seperti pada buah-buahan dan sayur-sayuran.
Ketahanan pangan di Papua masih labil karena masih banyak dipasok dari luar Papua seperti beras, sayur, daging, telur dan susu. Apalagi menjelang tahun politik 2018 dan 2019 masyarakat terkuras waktunya di kegiatan politik praktis, mata pencaharian pokok mereka sebagai petani atau pekebun mereka tinggalkan. Dari sinilah malapetaka gizi buruk mulai mengancam. Â
Upaya pemerintah melakukan kegiatan eliminasi atau mengurangi korban jiwa akibat campak di Asmat Papua harus dilakukan gerakan yang komprehensif dan integratif. Harus diketahui akar masalah yang melingkupinya, mulai dari pencegahan, pengobatan, sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup lainnya. Sesuai dengan target tahun 2030 Papua dan Papua Barat sudah bebas malaria.
Maka dengan demikian tidak ada alasan lagi orang tidak mengunjungi Tanah Papua yang sehat, indah, dan damai ini. Selamat datang di Tanah Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H