Mohon tunggu...
Mulyadi Djaya
Mulyadi Djaya Mohon Tunggu... Dosen Univ. Papua -

Memotret Papua bagai oase yang tidak pernah kering. Terus berkarya untuk Indonesia yang berkemajuan (#dosen.unipa.manokwari).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Masihkah Takut ke Papua karena Malaria?

15 Januari 2018   14:07 Diperbarui: 15 Januari 2018   16:20 11532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Tempo.co

Rasa takut dan cemas terhadap malaria papua adalah hal yang wajar. Sebuah bentuk kewaspadaan. Rasa takut adalah reaksi dari fight and flight response yang muncul secara alamiah pada manusia untuk menghadapi bahaya. Secara psikologis bisa sebagai pertahanan diri manusia yang diberikan Tuhan untuk menyembuhkan rasa takut. Kalau secara biologis adanya peningkatan peredaran darah ke otak. Tanda orang sehat.

[Faktor Budaya Menghambat]

Ditambah lagi dengan faktor sosial budaya ikut menghambat kebiasaan hidup sehat bagi masyarakat Papua. Masih ada kepercayaan bahwa orang sakit dan kematian yang mendadak disebabkan oleh mahluk jahat yang disebut swanggi. Pengobatan masih menggunakan "orang pintar" atau dukun setempat, tidak percaya dengan mantri kesehatan atau bidan yang bertugas. Bidan atau dokter mengalami kendala ketika bertugas di sana. Kematian ketika ditangani oleh paramedis (dokter dan bidan) bisa menjadi bumerang karena akan dituntut oleh keluarga yang meninggal.

Belum lagi kendala fasilitas kesehatan terutama yang bermukim di pedalaman. Banyak orang sakit tidak bisa tertolong karena terlambat ditangani oleh para medis. Puskesmas pembantu memiliki tenaga, peralatan, dan obat-obatan yang sangat terbatas. Penyakit berat sulit dirujuk karena harus berhari-hari atau menggunakan pesawat untuk mencapai rumah sakit rujukan.

Tidak semua orang menjadi sasaran nyamuk anopheles. Yang menjadi mangsa kebanyakan kepada ibu-ibu hamil. Hasil penelitian di rumah sakit MM Timika pada tahun 2004-2006 lalu, dari 2.046 ibu hamil diketahui 35,2% sakit malaria saat hamil dan 16,8% pada saat melahirkan.

Mengapa ibu-ibu hamil di Papua rentan malaria? Disebabkan karena kaum perempuan di Papua memiliki beban kerja yang lebih besar dibanding pria. Selain bekerja di dalam rumah seperti memasak dan mengasuh anak juga dibebani pekerjaan di luar yaitu di kebun. Sebagai isteri memiliki tanggung jawab karena sudah dibayarkan mas kawin oleh pihak laki-laki. Kondisi fisik yang melelahkan sangat rentan terkena penyakit malaria.

Juga menjadi aneh ketika ada program kelambunisasi yaitu membagi kelambu -- alat pencegah nyamuk ketika tidur -- secara gratis kepada masyarakat. Tapi yang terjadi, kelambu tersebut dimanfaatkan sebagai alat untuk menjaring ikan di laut atau di sungai.

[Akar Masalah: Rentan Gizi]

Bukan saja kematian di Papua disebabkan oleh malaria. Seperti peristiwa kematian akibat campak di Kabupaten Asmat Papua saat ini lebih disebabkan oleh faktor asupan gizi masyarakat yang belum tercukupi. Tidak terpenuhi zat gizi sangat rentan terhadap terjangkitnya penyakit endemik papua seperti malaria, TB, kaki gajah, campak, kulit, dan HIV/Aids.

Terpenuhinya gizi tergantung dari ketersediaan, kualitas, dan kebiasaan pangan masyarakat itu sendiri. Makanan pokok di Papua yang terdiri dari sagu dan ubi-ubian hanya terpenuhi akan karbohidrat, namun kurang protein dan vitamin. Kekurangan gizi harus terpenuhi dari protein hewani (daging, ikan, telur dan susu) dan nabati yang kaya akan vitamin seperti pada buah-buahan dan sayur-sayuran.

Ketahanan pangan di Papua masih labil karena masih banyak dipasok dari luar Papua seperti beras, sayur, daging, telur dan susu. Apalagi menjelang tahun politik 2018 dan 2019 masyarakat terkuras waktunya di kegiatan politik praktis, mata pencaharian pokok mereka sebagai petani atau pekebun mereka tinggalkan. Dari sinilah malapetaka gizi buruk mulai mengancam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun