Bagi masyarakat Papua jelang tahun politik 2018 dan 2019, bagai makan buah simalakama: Ikut politik mereka mati kelaparan, tidak ikut politik mereka tidak dapat bantuan! Hanya ikut ramai dan teriak dalam kampanye dapat uang dan sembako. Kalau bertani, harus kerja banting tulang berbulan-bulan baru dapat hasil. Nyatanya, magnet politik lebih kuat dibanding berkebun di ladang. Masyarakat diajak pragmatis.Â
Tercurahnya waktu untuk politik di Papua dan Papua Barat ketika pemerintah pusat membuka kran pemekaran. Bayangkan, dua provinsi dan 42 kabupaten/kota melaksanakan pesta demokrasi secara hampir bersamaan. Seluruh masyarakat yang tinggal di kampung-kampung berjibaku untuk memenangkan jagonya. Bantuan sembako dan uang gratis membuat mama-mama dan pace-pace dong duduk santai.
Akhirnya ladang ditinggalkan terbengkalai menjadi mangsa ternak babi. Bahan makanan di wilayah itu tamat. Di sinilah awal malapetaka bagi masyarakat Papua. Bencana kelaparan mengancam! Benarkah? Coba kita tengok ke belakang.
Yahukimo kelaparan
Sungguh mengherankan, Kabupaten Yahukimo yang dijuluki sebagai lumbung pangan utama kawasan Pegunungan Tengah Papua mengalami musibah bencana kelaparan pada tahun 2005-2006, terulang kembali pada tahun 2009. Puluhan korban meninggal dunia dan terjadi wabah busung lapar.
Gara-gara perubahan orientasi dari tradisi bertani kepada kegiatan politik praktis. Orang papua diajak "melompat" masuk di arena demokrasi modern dan meninggalkan pertanian tradisional leluhur mereka. Politik di Papua meninggalkan konflik horisontal: saling curiga, dendam, dan perang suku. Sampai saat ini masih ada kabupaten pemekaran belum berjalan normal roda pemerintahannya.
Kondisi kacau seperti itu tidak memungkinkan petani keluar rumah untuk beraktivitas di ladang. Banyak berdiam di rumah. Mau ke kebun takut dengan ancaman musuh atau lawan politiknya. Ubi jalar sebagai makanan pokok tidak menghasilkan. Bantuan sembako dalam bentuk beras dan mie instan, ikan kaleng sudah menipis. Harapan ada suplai makanan dari Jayapura, tapi pesawat tidak bisa mendarat karena faktor keamanan dan cuaca. Yang terjadi di Yahukimo adalah krisis pangan.
Bantuan pemerintah hanya sebatas "mengobati" tanpa menemukan "akar masalah" kerawanan pangan tersebut. Bantuan yang bersifat instan seperti mie, beras, selimut, dan pakaian layak pakai memang dilakukan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu memberi bantuan bibit ubi jalar varietas unggul. Selesai panen perdana inovasi tersebut tidak berlanjut. Kita lupa bahwa orang Papua memiliki varietas lokal dan cara bertani sendiri yang diturunkan 7.000 tahun silam oleh nenek moyang mereka. Kalau kerifan lokal tersebut dijalankan maka ketahanan pangan bagi orang Papua terjamin sepanjang masa.
Melihat ketahanan pangan di Papua masih labil, maka jelang tahun politik mendatang kejadian di atas akan terulang. Pilkada Gubernur Papua akan berlangsung Juni 2018, dan Pilpres dan Pileg serentak tahun 2019 mendatang. Ada kekhawatiran kondisi ini akan merembet di wilayah lain yang masih tergantung dengan bahan pangan dari luar Papua.
Budaya pertanian Papua
Pertanian dan bertani orang Papua punya cara tersendiri. Mereka kebanyakan tinggal dan membuka kebun di wilayah ekologi kaki gunung hingga pegunungan tinggi.
Berkebun ubi-ubian (ubi jalar, keladi, dan kentang) dengan pola ladang berpindah adalah pekerjaan pokok sambil berternak babi. Mereka sangat rajin dan ulet dalam hal teknik pertanian yang mereka peroleh secara turun temurun. Semenjak pagi keluarga inti (bapak, ibu, dan anak) sudah berangkat ke kebun kemudian pulang pada petang hari. Dari kebun membawa hasil panen sesuai kebutuhan konsumsi sendiri dan sebagian dijual ke pasar.
Uang biasanya untuk belanja kebutuhan dapur sekadar mengganti cita rasa dengan membeli bumbu-bumbu masak, ikan kaleng, mie instan bahkan beras di kota! Kalau ada sisa uang disimpan dalam celengan yang pada suatu saat tertentu dibelanjakan untuk mas kawin dan membayar denda adat. Kegiatan pertanian tersebut adalah rutinitas, kalau terhenti sudah pasti akan kekurangan makanan di kampung seperti halnya Yahukimo.
Ketahanan pangan orang Papua
Sedikitnya ada tiga kearifan lokal pertanian yang penulis temukan di masyarakat pegunungan Papua:
Pertama, teknologi penentuan musim tanam. Musim tanam dihitung berdasarkan mulainya musim kering dengan kegiatan membuka lahan, karena saat itu baik untuk kegiatan pembabatan dan penebangan pohon. Dikenal tiga musim tanam: musim kecil (Maret), sedang (Mei), dan besar (Agustus-Oktober). Musim tanam tersebut wajib diwaspadai jangan sampai terlewatkan karena akan mengganggu kesinambungan produksi.
Pengetahuan kedua adalah pola tanam campuran (multicropping) dalam satu hamparan lahan. Masing-masing komoditas ditanam secara berurutan sesuai dengan umur tanam hingga panen. Didahului menanam labu saat tanah masih hangat bekas pembakaran; berikutnya jagung dengan kacang buncis, kentang, dan terakhir ubi jalar (batatas). Satu hamparan ditanami puluhan jenis tanaman. Pola ini dimaksudkan agar sepanjang tahun kebun tetap berproduksi berdasarkan jangka panen yang berbeda. Tanaman ubi jalar sengaja ditanam terakhir karena dianggap sebagai bahan makanan "pertahanan" yang harus tetap tersedia setiap saat. Ketiga adalah lumbung alam.
Lumbung Alam
Biasanya di Jawa hasil panen pertanian disimpan di dalam lumbung berbentuk rumah. Namun di Papua menggunakan lumbung alam pola "panen tumbuh". Yaitu memanen ubi jalar/batatas/hipere sesuai kebutuhan hari itu dan ditumbuhkan kembali umbi/akar bekas panen. Ubi jalar bagi masyarakat Papua merupakan bahan makanan pokok selain sagu. Harus tersedia setiap saat. Memanen dengan cara menggali umbi dari tanah memerlukan keahlian tertentu sehingga bisa berproduksi sampai dua tahun bahkan tiga tahun.
Polanya, panen hanya untuk kebutuhan keluarga saat itu. Hari pertama digali pada satu sisi dengan cara pelan-pelan dan menyisakan perakaran bakal umbi. Lubang hasil galian ditutup kembali dengan tanah agar kelak akar membentuk umbi baru. Panen pada hari berikutnya pada tiga sisi yang lain. Panen berputar dari satu pohon satu ke pohon ubi yang yang lain.
Kalau lahan tersebut sudah tidak subur mereka pindah ke ladang yang baru, lahan lama dipulihkan (dibera) selama 3-6 tahun. Itulah sebabnya masyarakat Papua memiliki stok makanan yang relatif panjang hingga tiga tahun ke depan.
***
Kejadian Yahukimo adalah pelajaran yang sangat berguna dalam menerapkan pembangunan di Papua. Kegiatan politik praktis "mengganggu" ketahanan pangan di sana. Politik penting untuk memperoleh pemimpin yang dapat membangun daerah. Tapi, lebih relevan lagi pertanian sebagai pencaharian utama masyarakat -- seharusnya menjadi leading sector -- bukan sebagai komoditas politik. Pertanian Papua harus disentuh dengan iptek yang sesuai dengan pengetahuan lokal. Ada motivasi dan harapan bahwa pertanian mampu menyejahterakan orang Papua ke depan.
Karena pangan bermasalah, maka sektor lain seperti ekonomi, sosial, politik, dan keamanan di Papua juga terganggu. Oleh sebab itu, produk politik pemimpin yang miliki kepekaan terhadap ketersediaan pangan lokal yang dibutuhkan. Ke depan, Papua tidak lagi mengimpor pangan dari luar. Telah memiliki ketahanan pangan yang mumpuni menghadapi goncangan politik.
Ketahanan pangan di Papua lebih disebabkan oleh adanya potensi ketahanan sosial budaya pada kehidupan masyarakatnya. Ketahanan sosial budaya dalam hal pangan pokok dapat menciptakan kondisi sosial dan budaya masyarakat yang stabil dalam proses kehidupan rutin sehari-hari. Kebiasaan pangan (food habits) yang menyangkut pangan pokok relatif tidak tergoyahkan walaupun terjadi goncangan-goncangan ekonomi dan politik.
Kuncinya, jangan libatkan petani Papua dalam lompatan politik praktis hingga meninggalkan mata pencaharian pokok sebagai petani yang ulet. Masih banyak waktu membangun Papua.
..................
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi & Penyuluhan Pembangunan Universitas Papua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H