Mohon tunggu...
Mulyadi Djaya
Mulyadi Djaya Mohon Tunggu... Dosen Univ. Papua -

Memotret Papua bagai oase yang tidak pernah kering. Terus berkarya untuk Indonesia yang berkemajuan (#dosen.unipa.manokwari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tahun Politik Mengancam Ketahanan Pangan di Papua

1 Januari 2018   12:44 Diperbarui: 2 Januari 2018   14:21 2481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan menggunakan noken (tas khas Papua) mambawa beban berat melewati bukit terjal di Distrik Kurima, Kabupaten Yahukimo, Papua, Kamis (3/5/2012) | KOMPAS REGIONAL Agus Susanto

Ketahanan pangan orang Papua
Sedikitnya ada tiga kearifan lokal pertanian yang penulis temukan di masyarakat pegunungan Papua:

Pertama, teknologi penentuan musim tanam. Musim tanam dihitung berdasarkan mulainya musim kering dengan kegiatan membuka lahan, karena saat itu baik untuk kegiatan pembabatan dan penebangan pohon. Dikenal tiga musim tanam: musim kecil (Maret), sedang (Mei), dan besar (Agustus-Oktober). Musim tanam tersebut wajib diwaspadai jangan sampai terlewatkan karena akan mengganggu kesinambungan produksi.

Pengetahuan kedua adalah pola tanam campuran (multicropping) dalam satu hamparan lahan. Masing-masing komoditas ditanam secara berurutan sesuai dengan umur tanam hingga panen. Didahului menanam labu saat tanah masih hangat bekas pembakaran; berikutnya jagung dengan kacang buncis, kentang, dan terakhir ubi jalar (batatas). Satu hamparan ditanami puluhan jenis tanaman. Pola ini dimaksudkan agar sepanjang tahun kebun tetap berproduksi berdasarkan jangka panen yang berbeda. Tanaman ubi jalar sengaja ditanam terakhir karena dianggap sebagai bahan makanan "pertahanan" yang harus tetap tersedia setiap saat. Ketiga adalah lumbung alam.

Lumbung Alam
Biasanya di Jawa hasil panen pertanian disimpan di dalam lumbung berbentuk rumah. Namun di Papua menggunakan lumbung alam pola "panen tumbuh". Yaitu memanen ubi jalar/batatas/hipere sesuai kebutuhan hari itu dan ditumbuhkan kembali umbi/akar bekas panen. Ubi jalar bagi masyarakat Papua merupakan bahan makanan pokok selain sagu. Harus tersedia setiap saat. Memanen dengan cara menggali umbi dari tanah memerlukan keahlian tertentu sehingga bisa berproduksi sampai dua tahun bahkan tiga tahun.

Polanya, panen hanya untuk kebutuhan keluarga saat itu. Hari pertama digali pada satu sisi dengan cara pelan-pelan dan menyisakan perakaran bakal umbi. Lubang hasil galian ditutup kembali dengan tanah agar kelak akar membentuk umbi baru. Panen pada hari berikutnya pada tiga sisi yang lain. Panen berputar dari satu pohon satu ke pohon ubi yang yang lain.

Kalau lahan tersebut sudah tidak subur mereka pindah ke ladang yang baru, lahan lama dipulihkan (dibera) selama 3-6 tahun. Itulah sebabnya masyarakat Papua memiliki stok makanan yang relatif panjang hingga tiga tahun ke depan.

***

Kejadian Yahukimo adalah pelajaran yang sangat berguna dalam menerapkan pembangunan di Papua. Kegiatan politik praktis "mengganggu" ketahanan pangan di sana. Politik penting untuk memperoleh pemimpin yang dapat membangun daerah. Tapi, lebih relevan lagi pertanian sebagai pencaharian utama masyarakat -- seharusnya menjadi leading sector -- bukan sebagai komoditas politik. Pertanian Papua harus disentuh dengan iptek yang sesuai dengan pengetahuan lokal. Ada motivasi dan harapan bahwa pertanian mampu menyejahterakan orang Papua ke depan.

Karena pangan bermasalah, maka sektor lain seperti ekonomi, sosial, politik, dan keamanan di Papua juga terganggu. Oleh sebab itu, produk politik pemimpin yang miliki kepekaan terhadap ketersediaan pangan lokal yang dibutuhkan. Ke depan, Papua tidak lagi mengimpor pangan dari luar. Telah memiliki ketahanan pangan yang mumpuni menghadapi goncangan politik.

Ketahanan pangan di Papua lebih disebabkan oleh adanya potensi ketahanan sosial budaya pada kehidupan masyarakatnya. Ketahanan sosial budaya dalam hal pangan pokok dapat menciptakan kondisi sosial dan budaya masyarakat yang stabil dalam proses kehidupan rutin sehari-hari. Kebiasaan pangan (food habits) yang menyangkut pangan pokok relatif tidak tergoyahkan walaupun terjadi goncangan-goncangan ekonomi dan politik.

Kuncinya, jangan libatkan petani Papua dalam lompatan politik praktis hingga meninggalkan mata pencaharian pokok sebagai petani yang ulet. Masih banyak waktu membangun Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun