Mohon tunggu...
eddy mulyadi
eddy mulyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan peneliti

Lahir di Tanjungbalai (Asahan) dan aktif mengikuti seminar dan konferensi tentang bahasa. Selain itu, rajin menulis artikel, terutama berkolaborasi dengan mahasiswa, untuk dipublikasikan di berbagai jurnal nasional dan jurnal internasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tabrak Lari

29 April 2016   09:25 Diperbarui: 29 April 2016   09:45 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tidak pernah tahu kapan musibah akan datang. Kemarin sore saat sedang menunggu istri membeli makanan, mobil saya yang parkir di pinggir jalan diserempet sebuah sedan silver. Saya yang lagi duduk santai di dalam mobil kaget luar biasa. Bergegas saya keluar untuk melihat bodi mobil yang rusak. Bersamaan dengan itu seorang pengendara sedan melaju dengan kencang masuk ke kompleks JIP 2. Saya sempat melihat pengemudinya yang masih muda dan berkaos biru, tetapi saya tak melihat apa BK-nya.

Seperti diperintah alam bawah sadar, segera saya kejar mobil itu. Istri yang belum menyadari apa yang terjadi saya tinggalkan. Sampai di depan kompleks, saya bertanya kepada satpam yang sedang berjaga tentang mobil yang baru masuk dengan kencang. Petunjuk yang berharga diperoleh. Mobil itu BMW silver dan penumpang di dalamnya tiga orang dan masih muda. Saya minta tolong ke satpam untuk menahan mobil itu kalau mobinya keluar dari kompleks. Saya lalu memutari kompleks yang tidak begitu luas itu seraya memperhatikan mobil-mobil yang parkir di depan rumah warga. Usaha saya tak berhasil.

Dengan rasa kecewa saya kembali ke pos satpam. Kemudian, saya menelepon sepupu saya yang kebetulan tinggal di kompleks itu untuk mengetahui pemilik mobil. Ia tidak bisa memberi informasi yang pasti tanpa mengetahui BK mobil. Namun, dia meminta satpam untuk membuka CCTV di pos itu untuk melihat seri mobil. Sayangnya, satpam tak tahu kata kunci untuk membuka rekaman. Pelacakan kembali gagal.

Keberuntungan rupanya berpihak kepada saya. Mobil itu diparkir pengemudinya dalam posisi bisa terlihat dari pos satpam. Pak satpam bilang ketika mobil itu diparkir ada tiga orang keluar dari mobil untuk melihat bodi mobilnya dan setelah itu buru-buru pergi. Satpam meminta saya untuk menghampiri mobil itu supaya dapat dipastikan pelakunya. Bersama dengan istri yang sudah selesai membeli makanan dan baru menyadari kejadian ini, saya mendatangi pemilik mobil itu.

Siapa pun pasti merasa khawatir jika berada dalam situasi yang sulit diprediksi. Apalagi saya belum yakin bahwa pengecut yang menabrak mobil saya adalah pemilik mobil yang parkir di pojok kompleks, seperti yang ditunjukkan oleh Pak satpam. Namun, demi menuntut tanggung jawab atas kasus tabrak lari ini, pikiran negatif yang muncul saya abaikan.

Sampai di lokasi, saya melihat ada tiga mobil yang sedang parkir di tanah kosong di samping sebuah rumah, dan salah satunya ialah sedan BMW silver. Melihat mobil itu, jantung saya berdegup lebih kencang. Saya parkirkan mobil lalu saya dan istri berjalan mendekati mobil itu. Kosong, tak ada orang di dalamnya. Saya memeriksa bodi mobil dan tampak goresan panjang di kiri BMW itu. Letak goresan itu cocok dengan lecet di kanan mobil saya. Pada titik ini, saya mulai yakin bahwa pengendara mobil inilah pengecut yang melarikan diri tadi.

Saya lalu bertanya kepada seorang wanita muda yang berdiri memperhatikan kami dari teras rumahnya. "Dik, siapa yang punya mobil ini?" Tampak agak gugup, ia menjawab, "Tak tahu, Pak. Tadi ada yang parkir terus pergi." Saya penasaran. "Pergi ke arah mana?" "Ke sebelah sana, Pak," jawabnya sambil tangannya menunjuk ke arah jalan di kanan saya. Saya jelaskan kepadanya bahwa mobil ini baru menabrak mobil saya di depan kompleks.

Seorang ibu paruh baya keluar dari rumahnya. Ia rupanya menguping pembicaraan kami. "Ya, tadi mobil itu parkir terus orangnya buru-buru pergi," katanya tanpa saya tanya. "Saya lagi tidur-tiduran di kursi, makanya nampak saya," tambahnya dengan logat Batak yang kental. Letak rumahnya memang berhadapan dengan tanah kosong ini. Tak lama, keluar lagi seorang perempuan yang diikuti oleh beberapa orang lain. Situasinya mulai ramai. Kembali saya jelaskan bahwa mobil BMW ini baru saja menabrak mobil saya. Perempuan ini, yang tampaknya anak pemilik rumah di samping tanah kosong, mengatakan bahwa ia tidak mengetahui siapa pemilik mobil itu. Tanah kosong ini sering dijadikan tempat parkir. Ia lalu meminta saya untuk menunggu pemilik mobil.

Sambil menunggu, saya memfoto mobil itu sebagai bukti. Saya juga menelepon sepupu saya untuk menceritakan perkembangan yang terjadi. Meskipun BK mobil sudah diketahui, ia masih belum bisa memastikan siapa pemilik mobil. Saya kemudian meminta bantuan agar suaminya datang ke lokasi. Sebagai orang lama yang tinggal di kompleks, saya berharap suaminya tahu pemilik BMW silver ini. Saya dimintanya bersabar menunggu karena suaminya dalam perjalanan pulang ke rumah.

Mobil si penabrak (sumber: pribadi)

Tak lama kemudian, datanglah seorang pria muda yang berjalan ke arah kami. Dari baju kaos yang dikenakannya, saya langsung tahu bahwa pria inilah yang menabrak mobil saya. Dia melangkah dengan santai. Wajahnya sedikit pucat, tetapi dia terlihat berusaha menguasai rasa takutnya. Saya segera memberinya serangan psikologis. “Kenapa kau lari tadi?” bentak saya. Ia tak menjawab dan hanya berujar pendek, “Ya Pak. Saya tanggung jawab, Pak.” Matanya menatap saya seakan ingin meyakinkan. 

Saya perhatikan wajah pria ini dengan cermat. Ia memang masih muda, tetapi raut mukanya bukan seperti anak SMA, apalagi seperti mahasiswa. Walaupun badannya tinggi besar, umurnya saya taksir sekitar 13-15 tahun. “Kamu sekolah di mana?” tanya saya. “Di SMP ... (dia menyebut nama sekolah swasta terkenal di Medan). Ya ampun! Ternyata yang menabrak mobil saya adalah anak SMP. ‘Benar-benar “gila” orang tuanya ini,’ batin saya. “Kamu dikasi orang tuamu membawa mobil?” selidik saya. “Tidak, Pak. Saya hanya disuruh memanasi mobil.” “Lalu kenapa kamu bawa mobil?” Ia diam. Saya kejar lagi, “Orang tuamu di mana?” “Di luar kota, Pak,” jawabnya datar. “Di luar kota di mana?” “Kerja, Pak, di Jakarta.” “Siapa orang besar di rumahmu?” “Tidak ada, Pak. Saya tinggal sama adik saya, Pak.” Saya bingung. “Kamu pergi sekolah naik apa?” “Diantar saudara, Pak, tapi dia tidak tinggal di rumah.”  

Gadis yang rumahnya terletak di sebelah tanah kosong rupanya tak tahan berdiam diri. Dia tampak geram melihat remaja tanggung ini. Rentetan pertanyaan pun keluar dari mulutnya.  “Di mana rumahmu?” sergahnya. “Di sebelah, Pak ... eh Bu.” (Ia mulai gugup) “Di sebelah mana?” Ia menatap anak ini. “Di kompleks sebelah,” sahut si anak.  Gadis itu mulai emosi. “Berarti kau bukan warga kompleks sini. Ngapai kau parkirkan mobilmu di sini. Gara-gara kau saya dikira bapak ini yang punya mobil.” Anak itu diam.

Seorang satpam datang dengan sepeda motor. Selang beberapa menit, dua remaja pria menyusul di belakang satpam. Yang satu kurus tinggi dengan memakai batik dan satunya lagi bertubuh kecil dengan mata sebelah kanan agak sipit. Keduanya teman si penabrak.  Saya bertanya sekolah kedua anak ini. Anak yang kurus mengaku bersekolah di SMP Harapan. Namun, karena dipersoalkan warna baju batik yang dipakainya, dia akhirnya tak berkutik. Begitu pula, saat pengemudi  MBW diminta menunjukkan STNK mobil, ia mula-mula berusaha mengelak. Katanya ia tidak membawa STNK mobil. Setelah didesak, baru ia mengambilnya dari dalam mobil. Tampaknya saya sedang menghadapi “monster cilik” karena berbohong bagi mereka seperti orang meludah.   

Dalam situasi serba tak pasti, Pak satpam dan gadis itu menyarankan saya untuk menyelesaikan kasus tabrak lari ini di rumah si anak. Saya dan istri lalu pamit ke warga sambil berterima kasih karena sudah dibantu. STNK mobilnya saya pegang dan saya meminta para remaja ini menuntun saya ke kompleks sebelah. Saya juga mengontak sepupu saya agar suaminya nanti menuju ke sana.  

Tiba di rumahnya, memang tidak ada orang.  Si anak kembali menekankan tanggung jawabnya. Jujur, ada perasaan tak nyaman bila penyelesaian kasus ini  hanya melibatkan anak ini. Karena itu, saya memintanya untuk menghubungi orang tuanya untuk mengabarkan kasus tabrakan ini. Namun, si anak keberatan  dan dia meminta pengertian saya. Menurutnya, jika  kasus ini diketahui orang tuanya, ia akan dipukul dan kemungkinan besar diusir dari rumah. Tak lama, suami sepupu saya datang. Anak ini mengenalnya dengan baik. Rupanya anak ini dulu lama tinggal di kompleks JIP 2. (Mungkin itu alasannya dia tahu lokasi parkir untuk mobilnya).  Saya menceritakan kondisi yang saya hadapi. Mengingat si anak mau bertanggung jawab, dia setuju untuk tidak memberitahukan orang tuanya. Lagi pula, Magrib hampir tiba. Rasa lelah pun mulai mendera sesudah seharian bekerja. Di hadapannya, biaya perbaikan mobil diserahkan si anak kepada saya sesuai dengan harga sewajarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun