Mohon tunggu...
eddy mulyadi
eddy mulyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan peneliti

Lahir di Tanjungbalai (Asahan) dan aktif mengikuti seminar dan konferensi tentang bahasa. Selain itu, rajin menulis artikel, terutama berkolaborasi dengan mahasiswa, untuk dipublikasikan di berbagai jurnal nasional dan jurnal internasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tabrak Lari

29 April 2016   09:25 Diperbarui: 29 April 2016   09:45 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya perhatikan wajah pria ini dengan cermat. Ia memang masih muda, tetapi raut mukanya bukan seperti anak SMA, apalagi seperti mahasiswa. Walaupun badannya tinggi besar, umurnya saya taksir sekitar 13-15 tahun. “Kamu sekolah di mana?” tanya saya. “Di SMP ... (dia menyebut nama sekolah swasta terkenal di Medan). Ya ampun! Ternyata yang menabrak mobil saya adalah anak SMP. ‘Benar-benar “gila” orang tuanya ini,’ batin saya. “Kamu dikasi orang tuamu membawa mobil?” selidik saya. “Tidak, Pak. Saya hanya disuruh memanasi mobil.” “Lalu kenapa kamu bawa mobil?” Ia diam. Saya kejar lagi, “Orang tuamu di mana?” “Di luar kota, Pak,” jawabnya datar. “Di luar kota di mana?” “Kerja, Pak, di Jakarta.” “Siapa orang besar di rumahmu?” “Tidak ada, Pak. Saya tinggal sama adik saya, Pak.” Saya bingung. “Kamu pergi sekolah naik apa?” “Diantar saudara, Pak, tapi dia tidak tinggal di rumah.”  

Gadis yang rumahnya terletak di sebelah tanah kosong rupanya tak tahan berdiam diri. Dia tampak geram melihat remaja tanggung ini. Rentetan pertanyaan pun keluar dari mulutnya.  “Di mana rumahmu?” sergahnya. “Di sebelah, Pak ... eh Bu.” (Ia mulai gugup) “Di sebelah mana?” Ia menatap anak ini. “Di kompleks sebelah,” sahut si anak.  Gadis itu mulai emosi. “Berarti kau bukan warga kompleks sini. Ngapai kau parkirkan mobilmu di sini. Gara-gara kau saya dikira bapak ini yang punya mobil.” Anak itu diam.

Seorang satpam datang dengan sepeda motor. Selang beberapa menit, dua remaja pria menyusul di belakang satpam. Yang satu kurus tinggi dengan memakai batik dan satunya lagi bertubuh kecil dengan mata sebelah kanan agak sipit. Keduanya teman si penabrak.  Saya bertanya sekolah kedua anak ini. Anak yang kurus mengaku bersekolah di SMP Harapan. Namun, karena dipersoalkan warna baju batik yang dipakainya, dia akhirnya tak berkutik. Begitu pula, saat pengemudi  MBW diminta menunjukkan STNK mobil, ia mula-mula berusaha mengelak. Katanya ia tidak membawa STNK mobil. Setelah didesak, baru ia mengambilnya dari dalam mobil. Tampaknya saya sedang menghadapi “monster cilik” karena berbohong bagi mereka seperti orang meludah.   

Dalam situasi serba tak pasti, Pak satpam dan gadis itu menyarankan saya untuk menyelesaikan kasus tabrak lari ini di rumah si anak. Saya dan istri lalu pamit ke warga sambil berterima kasih karena sudah dibantu. STNK mobilnya saya pegang dan saya meminta para remaja ini menuntun saya ke kompleks sebelah. Saya juga mengontak sepupu saya agar suaminya nanti menuju ke sana.  

Tiba di rumahnya, memang tidak ada orang.  Si anak kembali menekankan tanggung jawabnya. Jujur, ada perasaan tak nyaman bila penyelesaian kasus ini  hanya melibatkan anak ini. Karena itu, saya memintanya untuk menghubungi orang tuanya untuk mengabarkan kasus tabrakan ini. Namun, si anak keberatan  dan dia meminta pengertian saya. Menurutnya, jika  kasus ini diketahui orang tuanya, ia akan dipukul dan kemungkinan besar diusir dari rumah. Tak lama, suami sepupu saya datang. Anak ini mengenalnya dengan baik. Rupanya anak ini dulu lama tinggal di kompleks JIP 2. (Mungkin itu alasannya dia tahu lokasi parkir untuk mobilnya).  Saya menceritakan kondisi yang saya hadapi. Mengingat si anak mau bertanggung jawab, dia setuju untuk tidak memberitahukan orang tuanya. Lagi pula, Magrib hampir tiba. Rasa lelah pun mulai mendera sesudah seharian bekerja. Di hadapannya, biaya perbaikan mobil diserahkan si anak kepada saya sesuai dengan harga sewajarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun