Ketika beliau sakit parah dan emosi beliau tidak stabil, dalam keadaan terluka aku berusaha menerima gerutuan dan cercaan beliau. Sembari meneteskan air mata, aku meyakinkan diri bahwa sosok di depanku itu bukanlah sosok Pak Ridha yang sebenarnya. Sosok beliau telah tertutupi oleh penyakit kronis yang telah bertahun dideritanya.Â
Kucoba mengingat semua kebaikannya, semua kemaafannya terhadap diriku yang hina dina ini. Kuingat kembali kopi susu yang dibuatnya, pemanas yang susah payah digotongnya dan selimut futon yang dihangatkannya untukku. Biasanya, semua amarah dan kekesalan yang menggunung, sirna ditelan oleh kebaikan dan akhlaknya yang mulia. Cinta Penawar Duka.
Aku bersyukur Allah Ta’ala telah menganugerahkan Pak Ridha  kepadaku. Dengan cintanya yang sempurna, dengan ketulusan hatinya, dengan kepeduliannya pada sesama, dengan keinginannya berbagi, dan dengan 1001 kebaikan yang tidak dapat kujabarkan satu persatu. Aku berharap kelak, Allah Ta’ala akan menempatkannya di surga yang tertinggi. Aammiin Allahumma aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H