Pilkada tanggal 27 Juni 2018 menunjukkan proses politik lokal di Indonesia yang sangat demokratis dan kesejukan, walaupun hasil yang di peroleh masih bersumber pada hasil quick count pada lembaga survey.Â
Namun pada umumnya rakyat Indonesia minimal sudah terjawab dan sudah mengetahui siapa gubernur dan wakil gubernur di 17 provinsi tersebut, karena quick count merupakan salah satu ilmu yang hadir secara cepat dan tepat untuk bagian dari referensi dan rasionalisasi serta akurasi dalam setiap pesta demokrasi di laksanakan (alias pilkada 2018 diIndonesia).
Walaupun data riel masih menunggu kepastian KPUD, karena Ia sebagai lembaga resmi pemerintah dalam menyelenggarakan Pilkada di negeri ini.
Masyarakat Indonesia dan khusus di 17 provinsi dan Kabupaten/Kota yang lagi mengadakan Pilkada 2018 kali ini, adalah satu proses demokrasi yang ingin mencari pemimpin-pemimpin nasional dari daerah-daerah, dimana lewat kemenangan pilkada ini, kita akan mengetahui  kinerja, kehebatan dan prestasi setiap Gubernur terpilih, Bupati dan walikota di masa-masa akan datang, proses penyeleksian pemimpin nasional lewat panggung-panggung pemerintahan tersebut.
Pertanyaan kemudian adalah siapakah pemenang demokrasi lokal di setiap provinsi atau kabuapten/kota dalam Pilkada 2018?. Apakah figur-figur calon tersebut yang menjadi barometer kemenangan atau ini bagian dari strategi partai politik dalam pemenangnya?
Tentu figur dan partai politik adalah tak bisa di pisahkan, karena dua-duanya pasti saling melengkapi satu sama lain, hanya saja dalam kemenangan tersebut, ternyata figur lebih dan menjadi bagian penting dalam setiap kemenangan pesta demokrasi, alhasil partai terkadang memiliki power baik di daerah, tetapi terkadang figur "keok" atau kalah juga dalam pertarungan, sebagaimana terjadi di sejumlah daerah.
Kajian ilmiah yang di lontarkan Suwignyo Widagdo (190 -- 192: 2016) dalam pandangan menganalisis perilaku pemilih, terdapat dua pendekatan yang dikenal yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis.Â
Pendekatan sosiologis menyatakan bahwa preferensi pemberian suara di kota pemilihan merupakan produk dari karakteristik sosial ekonomi seperti profesi, kelas sosial, agama, dan lainnya. Sehingga dapat dikatakan, latar belakang seseorang atau kelompok orang seperti jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, ideologi, dan asal daerah merupakan variabel independen yang mempengaruhi keputusan memilih.
Sementara untuk pendekatan psikologis, bahwa keputusan memilih terhadap kandidat atau calon didasarkan pada respon psikologis, seperti kualitas personal kandidat, isu-isu yang dikembangkan oleh kandidat, dan performa pemerintah yang saat itu sedang berkuasa. Perilaku memilih dalam konsep pemasaran bisnis pada dasarnya juga dapat diterapkan dalam pemasaran politik.Â
Kemudian Kotler dan Kotler (1981) sebagaimana dikutip Ali (2010) menjelaskan perbandingan perilaku memilih antara business marketing dengan political marketing.Â
Didalam business marketing, penjual akan menyediakan produk dan jasa, serta sistem komunikasi dipasarkan dan ditransaksikan melalui uang kepada pembeli. Demikian halnya di dalam political marketing, produk dan jasa yang diperdagangkan adalah promises and favors serta informasi yang dikomunikasikan kepada pembeli, sedangkan bentuk transaksi yang diperdagangkan bukanlah uang, namun voices.