Mohon tunggu...
mulia nasution
mulia nasution Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Pernah bekerja sebagai jurnalis The Jakarta Post, RCTI, Trans TV. Sekarang bergiat sebagai trainer jurnalistik, marketing dan public relations

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lembah Duka

24 Januari 2019   15:35 Diperbarui: 24 Januari 2019   15:42 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam membeku di titik terkelam

entah kenapa ya Rabbi

hamba kehabisan kata, suara, dan doa

yang pernah kutabung

rapuh bagai kelopak bunga musim kemarau

tak punya tenaga agar  terbang menjangkau sukma-Mu

tak ada kekuatan gaib seperti sediakala

II

Ya Allah ya Rabbi

beribu titian kulalui

datang menghamba mengadukan luka-lekang

Di tepi jurang sekalipun

sejuta panorama menerangi kalbu

sejuta warna mekar di hati

namun kali ini ketakmampuan

menyergap sebelum sempat bibir berucap

dan nyali enggan  memberi isyarat

getar-getar tulang sumsum tak pernah berujar

III

Apa gerangan kekusutan yang telah kupintal

di hari silam

Apa gerangan kerja jahil yang pernah kulipat

di malam dan di siang

Apa gerangan makian yang kutabur

di balik impian panjang

Oh,  duri menikam mimpi

adakah gores yang kutoreh di daun mawar

melukai tubuh perempuan

Hanya  ketakberdayaan yang tersisa

sisa kejemuan menyesak tumpang-tindih

berjuta tabir di balik tabir-Mu

dan teka-teki di dalam sejuta teka-teki-Mu

tak kutahu tak tahuku ya Allah!

III

Perjalanan pun letih tak kepalang

jauhnya seribu tapakan

Entah tanjakan entah tikungan entah jalan gradakan

tertinggal di belakang tanpa jejak kepastian

namun tempat berlabuh tak pernah tertuju

Kapan hati  punya lagu merdu ya Rabbi

menimbun keretakan urat urat nadiku

mengikis keringat yang terasa asin

Keasingan pada diri lupa siapa hamba

alpa tak pernah tertautkan

IV

Di lembah duka ini ya Rabbi

Kau dan aku

tidak pernah berjabatan tangan

Namun terasa ada yang mengikis bekunya sepotong hati

menjalari darah merah yang mengental

Inikah tetesan kebiruan langit dan laut-Mu

mengetuk-ngetuk jendela nurani

menyayat duka bagai sembilu

duh aduh oi perihnya

V

Sungai yang tak pernah dialiri percikan bening

bobol tiada terbendung

dan rantai yang menjuntai-juntai leher

berderai-derai

Wahai, inikah kenikmatan yang Inti

dari segala ketakmampuan dan ketakberdayaan

Tuhan, inikah puitik cinta-Mu

sejuta kali lipat nikmatnya

dibanding sajak cinta para penyair

Tak bertara  dendang riang gembala di padang padang

VI

Satu satu luruh

satu satu jatuh

satu satu tonggak angkuh rubuh

satu satu tangis hamba mengiris gerimis

nyeri tak tertanggungkan oi!

VII

Ketika bilal mengalunkan azan

di subuh buta

aku temukan diri

sendiri

telanjang tanpa sehelai benang

( Padang, 1982)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun