museum tersebut. Sempat ragu rasanya ketika sepeda motor yang kukendarai berbelok ke jalan kecil yang penuh dengan pepohonan.
Dibalik pepohonan rindang di dekat kaki Merapi, berdiri gagah Museum Ullen Sentalu. Entah alasan apa yang melatarbelakangi pemilihan tempat untuk mendirikanUntung saja, seorang lelaki paruh baya yang aku asumsikan sebagai juru parkir museum mendekatiku dan berkata “tempat parkir museumnya ada di depan sebelah kiri, Mbak”, lega rasanya mengetahui bahwa aku tidak tersesat. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera melajukan sepeda motorku ke arah yang ditunjukkan olehnya.
Hawa dingin khas daerah pegunungan menyapu lembut pipiku ketika aku melepas helm yang kupakai. Mataku lantas tertuju ke bangunan berbentuk lingkaran dengan dinding berwarna abu-abu di depan mataku. Kulangkahkan kakiku menuju ke bangunan tersebut. Begitu bangunan tersebut tampak jelas bagiku, segera dapat aku identifikasikan bahwa terdapat banyak tangga yang mengelilingi bangunan tersebut.
Kebingungan kembali hadir dalam pikiranku. Memberanikan diri, aku melangkah menuju satpam yang berdiri di sudut bangunan. “Pintu masuknya lewat mana ya, Pak?”, tanyaku sembari tersenyum. “Lewat pintu sebelah sini, Mbak”, beliau memberikan gestur dengan sangat jelas untuk menjawab pertanyaanku.
Segera setelah aku mengikuti instruksi yang diberikan satpam museum, aku sampai ke sebuah ruangan dengan meja berpartisi. Seseorang menyembulkan kepalanya ketika aku berjalan mendekati meja itu. Aku mengeluarkan kupon tur adiluhung gratis di museum Ullen Sentalu yang aku dapat dari memenangkan lotre di sebuah acara yang diselenggarakan oleh program studi Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada. Sejujurnya aku sempat malu untuk mengeluarkan kupon tersebut, namun untungnya perempuan muda penjaga meja registrasi tersebut menyambut kuponku dengan sangat ramah. Beliau langsung mengenali kupon yang kudapatkan. Reaksi menggemaskan muncul ketika beliau memeriksa kupon tersebut.
Percakapan sederhanapun terjalin antara aku dan beliau. Pembicaraan kami hanya seputar tentang program studi apa yang sedang aku pelajari di UGM dan percakapan ringan tentang asal kami masing-masing. Kudapatkan informasi bahwa beliau merupakan orang Jogja asli yang kini bekerja di museum Ullen Sentalu. Percakapan kami singkat saja, karena kemudian ada rombongan yang datang untuk masuk ke museum. Sayangnya, aku tak sempat menanyakan nama dari perempuan muda tersebut.
Aku lantas diberi instruksi untuk menuju ke ruangan berikutnya. Begitu sampai di ruangan yang ditunjukkan, dapat aku lihat beberapa kursi berjajar rapi menghadap ke jendela dengan pemandangan patung-patung yang disusun di sisi-sisinya. Aku diberi instruksi untuk menunggu selama kurang lebih 25 menit di ruangan tersebut. Aku melihat-lihat sekitarku dan tak lama muncul dua orang perempuan yang kemudian duduk di sampingku.
Tidak lama dari kedatangan mereka, kemudian muncul lima orang dengan seorang dari mereka menggendong bayi ikut duduk menunggu. Suasana makin ramai dengan banyaknya obrolan yang terjadi. Selama menunggu, aku lebih banyak diam menikmati suasana sekitarku dan udara menyejukkan yang menelisik gemas pipiku. Tak terasa, terdengar sebuah panggilan dari speaker museum yang ditujukan kepada mereka yang memiliki tiket tur adiluhung untuk segera berkumpul dan memulai tur.
Rombonganku waktu itu berjumlah sepuluh orang dengan seorang pemandu. Sebelum tur dimulai, kami dijelaskan terkait dengan ruangan yang akan kami kunjungi dalam tur adiluhung tersebut. Secara keseluruhan kami akan mengunjungi 5 ruangan dengan durasi tur sepanjang 45 menit. Sepanjang tur, kami dilarang untuk mendokumentasikan koleksi yang dimiliki oleh museum Ullen Sentalu.
Tur kemudian dimulai dengan sebuah ruangan yang berisikan satu set gamelan jawa dan banyak foto-foto lawas dari Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegaran. Di ruangan ini, kami dijelaskan terkait dengan sejarah mataram hingga perpecahan mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta.
Tur bergerak cepat, hingga tak terasa kami sudah bergerak ke ruangan berikutnya yang berisikan surat-surat serta puisi-puisi yang pernah ditulis oleh anggota keluarga dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta. “Itu ada yang tulisannya lucu, soal hippopotamus”, celetuk pemandu tur ketika aku sedang membaca koleksi yang ada. Aku hanya tersenyum dan tertawa ketika membaca keseluruhan pesan yang ada. Sayangnya, karena keterbatasan waktu tidak semua koleksi surat dan puisi dapat kubaca.