Mohon tunggu...
Mula Efendi Gultom
Mula Efendi Gultom Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Humanis, Loyalis dan Profesional

Lahir di Pancurbatu Deliserdang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Strategi Menghadapi Rekayasa Konflik

26 Agustus 2019   16:19 Diperbarui: 26 Agustus 2019   16:22 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Strategi ke 9 dari 36 strategi Sun Tzu yang terkenal dalam menghadapi situasi perang adalah : Pantau api yang terbakar sepanjang sungai. Tunda untuk memasuki wilayah pertempuran, sampai seluruh pihak yang bertikai kelelahan.

Strategi ini mencegah penggunaan energi yang sia-sia, membaca peta situasi keadaan dengan pikiran sejernih mungkin, mencegah kita terjebak dalam hiruk pikuk yang membingungkan. Sehingga tidak terjadi asal serang, bisa-bisa salah lirik justru pasukan kawan yang terkena serangan.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, strategi itu sama saja dengan suatu cara kita menghadapi situasi kepanikan yang datang secara tiba-tiba. Tenangkan diri, dengan kepala dingin cari sumber kepanikan, baru ambil tindakan yang benar. Dalam perang sesungguhnya, ketika satu tembakan musuh menghadang, tindakan pertama yang diambil adalah berlindung, mencari sumber tembakan dan memimpin serangan balik.

Keputusan yang diambil dengan terburu-buru menyebabkan rawan terjadinya kecerobohan, keputusan yang disertai amarah hilang akal sehat. Air yang semula diharapkan untuk memadamkan api ternyata berisi minyak,  akibatnya api bukannya padam tetapi makin membesar.

Masih hangat di media sosial mengenai pernyataan pemuka agama yang menyinggung salah satu agama di Indonesia, muncul pula permasalahan baru dugaan penistaan bendera Merah Putih oleh mahasiswa Papua di Surabaya dan berbuntut terjadinya demo  di Papua, Medan dan Bandung.

Sudah menjadi hukum alam, siapapun yang berada dalam satu diantara dua arus yang berbeda akan sulit mengambil keputusan terbaik antara dua arus tersebut. Satu-satunya jalan untuk mencari solusi diantara dua arus itu adalah melihat dengan kaca mata dari luar kedua arus tersebut.

Bila kita telusuri lebih mendalam dari fakta yang ada, video yang berisi penistaan salib dan patung itu dilakukan lebih kurang 3 tahun yang lalu dan dalam ruang tertutup. Demikian juga perusakan bendera merah putih sebagai simbol negara Idonesia tidak terbukti dilakukan mahasiswa papua.  Lalu siapa dalang yang ada dibalik hiruk pikuk ini?

Untuk membuat konflik cukup satu orang biang keladi maka dalam waktu yang singkat akan terbakar, namun untuk menangkal konflik butuh peran semua orang dan pemahaman dalam waktu yang panjang.

Sebenarnya Pancasila sebagai perisai bangsa Indonesia sudah mengamanatkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya  setiap agama di Indonesia mengakui berTuhan yang satu sesuai kepercayaan penganutnya. Kalau berbicara tentang kepercayaan penganut lain, walapun didalam ruang tertutup itu merupakan potensi rekayasa konflik yang dapat dimanfaatkan pihak yang tidak menginginkan damai ada di Indonesia.

Sementara itu fanatisme kerap menjadi pemicu terjadinya konflik, Surabaya yang mendapat julukan kota pahlawan, akhirnya tersulut emosi ketika mendapati bendera Merah Putih jatuh dan teronggok didalam selokan depan asrama mahasiswa Papua.

Siapapun akan tersulut emosinya ketika bendera sebagai simbol negaranya di hina dengan memasukkan ke dalam got. Namun siapa yang memasukkan bendera ke dalam got, sebagai biang keladi pemicu api konflik, itulah yang harus dicari.

Bila kita menoleh sejenak ke masa lalu dimana pemerintah Pernah memberikan penataran P4 yang diatur dalam Tap MPR Nomor II/MPR/1978 dengan 36 butir pengamalan Pancasila. Maka sikap hidup dalam pengamalan Pancasila inilah yang akan menangkal sikap radikalisme, egoisme maupun opini-opini yang mengarah kepada disintegritas.

Padahal untuk membentuk sikap dan perilaku luhur seperti yang terkandung dalam Pancasila tidak semudah mengucapkan secara lisan, butuh waktu dan pemahaman yang dalam sehingga butir-butir Pancasila duduk didalam sikap hidup masyarakat Indonesia.

Bersyukurlah Indonesia memiliki Pancasila sebagai sumber hukum tata aturan hidup berbangsa, tidak ada negara lain yang memiliki ideologi sedalam dan seluas Pancasila yang mampu menyatukan keaneka ragaman masyarakatnya.

Karena Agama mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dengan manusia dan lingkungannya secara universal. Namun Pancasila mengatur hubungan khusus antara sesama manusia Indonesia dan dengan negaranya.

Namun entah mengapa, P4 dikait-kaitkan dengan Orde Baru hingga akhirnya keluarlah Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998 yang menyatakan Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tidak berlaku lagi, setelah genap 20 tahun diterapkan.

Ini berarti musuh sudah berhasil menerapkan strategi ke 19 dari 36 strategi Sun Tzu yaitu Jauhkan kayu bakar dari tungku masak.  Meruntuhkan dan melemahkan pondasi musuh yang kuat  baru serangan menuju sumberdaya dilaksanakan.

Pada saat kegiatan penataran P4 mungkin hanya beberapa persen dari pengajaran yang dapat diterima namun beberapa persen yang sedikit itupun telah membuka mata hati kita untuk saling hormat-menghormati berbeda agama, mencintai dan fanatis nasionalisme yang benar namun bermartabat.

Setidaknya rasa nasionalisme yang benar selalu dihangatkan, diingatkan dan disebarkan akhirnya menjadi kekuatan terpadu untuk mencegah terjadinya konflik untuk demi tegaknya kedaulatan negara. 

Kekuatan Pertahanan Semesta yang kita proyeksikan tidak akan pernah tercapai apabila rasa nasionalisme hanya sebatas permukaan lesan dan tidak pernah sampai ke hati, apalagi dalam tindakan.

Pada akhirnya hanya ada sikap saling menyalahkan dan mencari kambing hitam demi amannya organisasi yang dipimpin.  Ketika api konflik merebak, sembunyi tangan dan mencari pembenaran menjadi alternatif terakhir.

Pembenaran diri sudah dilakukan sejak Adam pertama ditanya, mengapa memakan buah kuldi yang dilarang, jawabnya wanita itu yang memberikan. Demikian juga ketika Hawa ditanya mengapa buah larangan itu dimakan, jawabnya ular itu yang memperdaya aku.

Dalam tradisi militer, apabila ada seorang anggota yang bersalah dan terendus oleh sang komandan yang bertanya apakah anda berbuat salah ? Apa bila sang prajurit mencoba dalih pembenaran maka fatal akibatnya, namun satu kata "siap salah" adalah ungkapan gentleman untuk siap menanggung ganjaran sekaligus ungkapan kejujuran.

Seorang komandan dapat  melihat tingkah laku anak buahnya sehari-hari, mana yang dapat dipercaya mana yang omong doang, mana yang suka keluar tanpa aturan atau yang patuh dengan aturan. Demikian juga dengan anggota yang patut diberi penghargaan atas pengabdiannya dan yang mendapat hukuman atas kesalahannya.

Salah satu diantara penghargaan dan hukuman tidak dijalankan, fungsi komandan sebagai pimpinan tidak akan berjalan mulus. Tentu saja diantara penghargaan dan hukuman ada kebijaksanaan sebagai ciri khas yang membedakan setiap pimpinan. Namun sudah selayaknya pimpinan sebagai bapak yang mewarnai anak-anaknya dengan kebijaksanaan yang terukur, sehingga keadilan menjadi senjata yang ampuh untuk memimpin anak buahnya.

Bung Karno berkata "apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu, bagaimana kita akan tegak diatas kekuatan sendiri ? Itu jawaban Bung Karno ketika Bung Karni, wikana dan para pemuda mendesak proklamasi di umumkan pada tanggal 15 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.

Ketika dua kebenaran bersimpangan jalan  dan waktu yang semakin mendesak akhirnya Bung Karno berkata bahwa ia tidak dapat memutuskan sendiri, ia harus berunding dengan tokoh lainnya.
" Berunding" adalah kata kunci menuju introspeksi, dengan berunding semua pihak dihormati dan semua pendapat diakomodir.

Namun seringkali berunding memberi kesan merendahkan bagi sebagian pihak, sehingga tidak akan pernah ada kata sepakat. Begitu tingginya kultus kepribadian seseorang, hingga lupa bahwa Indonesia dibangun oleh kesepakatan luhur seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia, bukan hanya satu agama atau satu suku saja.

Didepan kita saat ini teroris Generasi ke 4 sudah mulai membayangi, sementara teroris generasi ketiga sudah bekerja menebar ketakutan dengan bom bunuh dirinya di gereja-gereja dan hotel. Mereka tidak mau tau anak-anak atau siapa saja akan mereka gilas dengan kekuatan membabibuta.

Bagaimana mungkin satu keluarga dapat direkrut menjadi teroris, inilah akibat merendahkan nasionalisme, hilangnya pilar penyangga kekuatan nasionalisme  yaitu bukan sekedar cinta Indonesia tetapi tahu dan mengerti bagaimana bernasionalisme yang benar.

Tentunya nasionalisme yang benar tidak akan didapat begitu saja, namun melalui pelatihan yang benar, menarik, bermutu dan atraktif.

Mari kita lihat, apakah roh Tap MPR Nomor II/MPR/1978 dibangkitkan kembali atau dengan cara lain untuk merekatkan keberagaman masyarakat Indonesia, demi menutup celah rapat-rapat dari tekanan teroris yang semakin hari menduplikasikan dan mengupgrade serangannya dalam rekayasa konflik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun