Dalam tradisi militer, apabila ada seorang anggota yang bersalah dan terendus oleh sang komandan yang bertanya apakah anda berbuat salah ? Apa bila sang prajurit mencoba dalih pembenaran maka fatal akibatnya, namun satu kata "siap salah" adalah ungkapan gentleman untuk siap menanggung ganjaran sekaligus ungkapan kejujuran.
Seorang komandan dapat  melihat tingkah laku anak buahnya sehari-hari, mana yang dapat dipercaya mana yang omong doang, mana yang suka keluar tanpa aturan atau yang patuh dengan aturan. Demikian juga dengan anggota yang patut diberi penghargaan atas pengabdiannya dan yang mendapat hukuman atas kesalahannya.
Salah satu diantara penghargaan dan hukuman tidak dijalankan, fungsi komandan sebagai pimpinan tidak akan berjalan mulus. Tentu saja diantara penghargaan dan hukuman ada kebijaksanaan sebagai ciri khas yang membedakan setiap pimpinan. Namun sudah selayaknya pimpinan sebagai bapak yang mewarnai anak-anaknya dengan kebijaksanaan yang terukur, sehingga keadilan menjadi senjata yang ampuh untuk memimpin anak buahnya.
Bung Karno berkata "apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu, bagaimana kita akan tegak diatas kekuatan sendiri ? Itu jawaban Bung Karno ketika Bung Karni, wikana dan para pemuda mendesak proklamasi di umumkan pada tanggal 15 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
Ketika dua kebenaran bersimpangan jalan  dan waktu yang semakin mendesak akhirnya Bung Karno berkata bahwa ia tidak dapat memutuskan sendiri, ia harus berunding dengan tokoh lainnya.
" Berunding" adalah kata kunci menuju introspeksi, dengan berunding semua pihak dihormati dan semua pendapat diakomodir.
Namun seringkali berunding memberi kesan merendahkan bagi sebagian pihak, sehingga tidak akan pernah ada kata sepakat. Begitu tingginya kultus kepribadian seseorang, hingga lupa bahwa Indonesia dibangun oleh kesepakatan luhur seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia, bukan hanya satu agama atau satu suku saja.
Didepan kita saat ini teroris Generasi ke 4 sudah mulai membayangi, sementara teroris generasi ketiga sudah bekerja menebar ketakutan dengan bom bunuh dirinya di gereja-gereja dan hotel. Mereka tidak mau tau anak-anak atau siapa saja akan mereka gilas dengan kekuatan membabibuta.
Bagaimana mungkin satu keluarga dapat direkrut menjadi teroris, inilah akibat merendahkan nasionalisme, hilangnya pilar penyangga kekuatan nasionalisme  yaitu bukan sekedar cinta Indonesia tetapi tahu dan mengerti bagaimana bernasionalisme yang benar.
Tentunya nasionalisme yang benar tidak akan didapat begitu saja, namun melalui pelatihan yang benar, menarik, bermutu dan atraktif.
Mari kita lihat, apakah roh Tap MPR Nomor II/MPR/1978 dibangkitkan kembali atau dengan cara lain untuk merekatkan keberagaman masyarakat Indonesia, demi menutup celah rapat-rapat dari tekanan teroris yang semakin hari menduplikasikan dan mengupgrade serangannya dalam rekayasa konflik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H