Bila kita menoleh sejenak ke masa lalu dimana pemerintah Pernah memberikan penataran P4 yang diatur dalam Tap MPR Nomor II/MPR/1978 dengan 36 butir pengamalan Pancasila. Maka sikap hidup dalam pengamalan Pancasila inilah yang akan menangkal sikap radikalisme, egoisme maupun opini-opini yang mengarah kepada disintegritas.
Padahal untuk membentuk sikap dan perilaku luhur seperti yang terkandung dalam Pancasila tidak semudah mengucapkan secara lisan, butuh waktu dan pemahaman yang dalam sehingga butir-butir Pancasila duduk didalam sikap hidup masyarakat Indonesia.
Bersyukurlah Indonesia memiliki Pancasila sebagai sumber hukum tata aturan hidup berbangsa, tidak ada negara lain yang memiliki ideologi sedalam dan seluas Pancasila yang mampu menyatukan keaneka ragaman masyarakatnya.
Karena Agama mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dengan manusia dan lingkungannya secara universal. Namun Pancasila mengatur hubungan khusus antara sesama manusia Indonesia dan dengan negaranya.
Namun entah mengapa, P4 dikait-kaitkan dengan Orde Baru hingga akhirnya keluarlah Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998 yang menyatakan Tap MPR Nomor II/MPR/1978 tidak berlaku lagi, setelah genap 20 tahun diterapkan.
Ini berarti musuh sudah berhasil menerapkan strategi ke 19 dari 36 strategi Sun Tzu yaitu Jauhkan kayu bakar dari tungku masak.  Meruntuhkan dan melemahkan pondasi musuh yang kuat  baru serangan menuju sumberdaya dilaksanakan.
Pada saat kegiatan penataran P4 mungkin hanya beberapa persen dari pengajaran yang dapat diterima namun beberapa persen yang sedikit itupun telah membuka mata hati kita untuk saling hormat-menghormati berbeda agama, mencintai dan fanatis nasionalisme yang benar namun bermartabat.
Setidaknya rasa nasionalisme yang benar selalu dihangatkan, diingatkan dan disebarkan akhirnya menjadi kekuatan terpadu untuk mencegah terjadinya konflik untuk demi tegaknya kedaulatan negara.Â
Kekuatan Pertahanan Semesta yang kita proyeksikan tidak akan pernah tercapai apabila rasa nasionalisme hanya sebatas permukaan lesan dan tidak pernah sampai ke hati, apalagi dalam tindakan.
Pada akhirnya hanya ada sikap saling menyalahkan dan mencari kambing hitam demi amannya organisasi yang dipimpin. Â Ketika api konflik merebak, sembunyi tangan dan mencari pembenaran menjadi alternatif terakhir.
Pembenaran diri sudah dilakukan sejak Adam pertama ditanya, mengapa memakan buah kuldi yang dilarang, jawabnya wanita itu yang memberikan. Demikian juga ketika Hawa ditanya mengapa buah larangan itu dimakan, jawabnya ular itu yang memperdaya aku.