[caption id="attachment_370050" align="aligncenter" width="600" caption="Susi Pudjiastuti/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Ibu, saya tulis surat ini untukmu, sebagai ungkapan rasa hatiku, sebagai (sesama) ibu.
Tentu saya sangat gembira, saat di hari Minggu sore tanggal 26 oktober lalu, beberapa ibu yang berkualitas dan tak diragukan dedikasinya, maju ke depan dipanggil satu-persatu. Menjadi menteri ini dan itu. Alhamdulillah, kiranya kiprah perempuan mulai lebih banyak mendapat penghargaan di negeri ini.
Menilik pengalaman hidup Ibu untuk tetap terus struggle, benar kesan orang: ibu sedikit dari manusia yang tak bersekolah tinggi, tapi banyak mengukir prestasi. Saya salut sekali, bagaimana ibu bisa mengentaskan kemiskinan bagi para nelayan di sekitar Pangandaran, juga ulet dalam mencari peluang berusaha, mulai dari bawah, hingga menjadi pengusaha maskapai yang cukup sukses seperti sekarang. Saat banyak sarjana perikanan kini masih menjadi pengangguran, ibu justru telah mampu banyak menyediakan lapangan pekerjaan. Saya juga menyimak, bagaimana ibu berani keluar sekolah saat kelas dua SMA dengan alasan jenuh, padahal sudah disekolahkan di SMA bonafid di Yogyakarta. Saya juga sedikit menyimak tentang keluarga ibu, yang juga ternyata adalah seorang ibu dengan satu putra. Pun saya juga menyimak, bahwa ibu termasuk pengusaha yang nyentrik, suka merokok, minum wine dan memiliki tato.
Tentang hal yang terakhir itu, Ibu. Sebetulnya Bu, bagi saya pribadi, orang mau merokok sehari 5 bungkus atau menenggak wine bergelas-gelas dalam hitungan jam, tidak terlalu mengusik hati saya. Apalagi jika dia artis atau pengusaha, yang dikabarkan kehidupannya tak jauh dari dua benda itu. Tetapi masalahnya, mulai minggu senja itu, Ibu tak lagi pengusaha biasa. Ibu sudah menjadi pejabat publik, yang disorot gerak-geriknya oleh berjuta pasang mata rakyat Indonesia. Termasuk diantaranya, anak-anak, yang juga ikut menonton dan menyimak salah satu penggal bersejarah di negeri ini, melalui televisi dan layar internet.
Ibu Menteri, saya adalah seorang pendidik, yang banyak berhubungan dengan guru dari anak-anak kecil di lembaga PAUD. Sejak awal, guru-guru TK yang saya ajar, selalu saya tanamkan tentang bagaimana memberikan pengaruh yang besar melalui keteladanan, jika ingin membentuk kebiasaan baik pada anak. Lucu sekali, jika seorang guru TK mengingatkan anak didiknya “Ke sekolah jangan pakai rok mini”, sementara nanti di luar jam sekolah, si guru kedapatan memakai rok mini oleh anak didiknya, sambil asyik ketawa-ketiwi. Hal seperti itu disebut dengan gezag, kewibawaan. Seorang guru akan didengar perkataannya dengan baik dan dituruti nasehatnya oleh anak, bila ia memiliki kewibawaan. Dan kewibawaan itu antara lain terbentuk pada anak, melalui pantulan sikap perilaku dari gurunya, yang layak dijadikan teladan. Lalu, apakah tidak boleh memakai rok mini? Bukankah itu hak azasi? Ini tentu bukan perkara boleh atau tidak boleh. Tetapi, seorang guru TK tidak patut jika kemana-mana memakai rok mini, karena itu akan merusak kewibawaannya sebagai pendidik. Mungkin ada profesi lain yang lebih tepat untuk itu, artis, atau pengusaha konfeksi.
Pun halnya dengan merokok, yang bahkan hingga level SMA, saya yakin tidak ada sekolah di negeri ini, yang menyatakan bahwa sekolahnya membebaskan muridnya untuk merokok. Meskipun pada saat jam istirahat. Beberapa sekolah, bahkan dengan tegas menyatakan sekolahnya adalah sekolah bebas rokok. Dan itu juga berlaku bagi guru-guru, tak hanya murid saja. Nah, alangkah sulitnya bagi kami para pendidik, jika lalu ada pejabat publik,seorang Ibu, yang merokok di depan umum usai baru saja diumumkan menjadi mentri. Bagaimana fenomena ini harus dijelaskan, agar anak-anak tak memiliki alibi, “Kok nggak boleh ngerokok di sekolah? Tuh bu mentri aja ngerokok di istana”.
Atas kejadian di Minggu sore itu, maaf, tak tahan waktu itu saya untuk tak menulis status di laman fesbuk:
Maaf ibu, jika surat ini mengusik kenyamanan. Tapi inilah ungkapan kegelisahan seorang ibu, yang justru sedang menaruh harapan pada salah seorang Ibu lain yang ditunjuk negara mewakili kaumnya. Saya tetap salut dengan banyak kelebihan dan daya juang ibu yang luar biasa, meski tak mengenyam pendidikan tinggi. Baru beberapa orang yang saya catat tidak memiliki pendidikan tinggi tapi mengukir segudang prestasi di negeri ini, seperti KH Agus Salim, Adam Malik, dll. Semoga prestasi dan kinerja ibu juga akan berkibar seperti mereka.
Namun, jika ada kekurangan, bolehkan kalau saya memberikan masukan? Bukankah, yang namanya teman sejati itu, adalah yang tak hanya pandai memberikan pujian, tapi juga mampu menunjukkan kekurangan? Meskipun saya juga belum menjadi teman ibu. Lha ketemu Ibu aja juga belum pernah. Saya ini siapalah. Tapi sengaja saya tulis surat ini, sebagai tanda sayang saya pada Ibu. Karena bagaimanapun, kita adalah sesama ibu :)
Sekian bu, surat dari saya, mohon maaf jika tidak berkenan.
*dari seorang ibu, dengan 3 putri dan 1 putra*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H