Solusi Pengelolaan Lahan Gambut
Langkah pertama dalam pembukaan dan pengembangan lahan gambut adalah pembuatan parit atau saluran drainase. Pengendalian air merupakan syarat penting untuk keberhasilan pengelolaan lahan gambut. Â Penggalian parit drainase secara bertahap dan terkendali terbukti dapat mengatur laju kecepatan penurunan permukaan lahan gambut . Pembuatan parit secara bertahap juga dapat mencegah adanya kebakaran gambut pada musim kemarau jika air di dalam parit tetap dipertahankan.
Pada reklamasi lahan gambut untuk pertanian, pembuatan saluransaluran drainase untuk "mengeringkan" lahan merupakan kebutuhan pertama. Selain untuk mengeringkan, saluran drainase juga berfungsi untuk membuang air masam yang berisi asam-asam organik dan anorganik dan senyawa lain yang bersifat toksik terhadap tanaman, memasukkan air segar (fresh water) untuk memberikan oksigen dan mengurangi senyawa racun baru. Saluran-saluran drainase tersebut, dapat didesain sebagai  saluran tunggal dapat berfungsi sebagai saluran pembuang/kolektor sekaligus sebagai saluran pengglontor air bersih.
Penataan lahan di wilayah lahan pasang surut adalah upaya  untuk memanfaatkan lahan secara optimal, sesuai dengan kondisi tipologi lahan dan tipe luapan setempat. Dalam penataan lahan tercakup cara untuk menentukan sistem pengelolaan lahan dan tata air yang merupakan faktorfaktor penentu keberhasilan dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut.
Keberhasilan pengelolaan lahan rawa dan atau lahan rawa gambut memerlukan ketepatan konsep, dan penerapannya serta didukung oleh pengembangan dan inovasi dari kedua komponen tersebut. Pengelolaan juga baru bisa dikatakan berhasil jika mampu memberikan manfaat utuk hari ini dan masa yang akan datang. Kehati-hatian dan kajian yang mendalam harus menjadi pangkal dari setiap rencana pengelolaan dan pengembangan. Sumberdaya alam adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dijadikan sasaran pengembangan tanpa suatu konsep yang jelas.
Untuk menjamin keseimbangan antara pengembangan kawasan dan konservasi, pada setiap wilayah lahan rawa gambut yang akan dikembangkan menjadi kawasan budidaya atau reklamasi  perlu ditentukan batas-batas (dideliniasi ) adanya : 1) sempadan pantai, 2) sempadan sungai dan 3) kawasan tampung hujan. Ketiga kawasan tersebut  umumnya dinamakan kawasan non budidaya. Luas kawasan non budidaya adalah 1/3 dari luas total - kawasan budidaya dan non budidaya -- setiap satuan pengembangan di wilayah itu. Disamping itu perlu juga  disiapkan adanya kawasan pencegah banjir (retarder) dan saluran intersepsi.
PENUTUPAN
Kesimpulan
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) memiliki penyebaran lahan gambut sebesar 769 ribu ha (51,8 %). Kandungan karbon tertinggi kedua pada tahun 1990 sebesar 793 juta ton. Pada tahun 2002, tanah gambut di daerah kabupaten OKI memiliki kandungan karbon paling tinggi yaitu sebesar 687 juta ton. Luas lahan Gambut Sedang, terdapat di kabupaten: Ogan Komering Ilir (Oki) 547.112 ha ( 55,7%), Gambut dangkal seluas 186.952 ha (59,7%).
Muhrizal Sarwani (2003), Berkurangnya atau hilangnya kawasan gambut menyebabkan menurunnya produktifitas lahan, bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan, dan kering pada musim kemarau. Â Lahan menjadi kering dan masam, usaha pertanian tidak dapat dilakukan lagi, lahan bongkor dan mudah terbakar. Â Gambut yang telah mengalami reklamasi akan mengalami pemadatan.
Indikasi kuat terjadinya perubahan kualitas lahan dan lingkungan antara lain, adalah menurunnya produktivitas hasil tanaman dan perubahan jenis serta populasi ikan, Meningkatnya Senyawa CO2 akibat pembakaran lahan, kemudian menjadi rantai penyambung penyakit saluran pernapasan. Mengeringnya lahan akibat menipisnya lapisan gambut yang berfungsi menampung air. Gizi buruk akibat menghilangnya cadangan makanan alam; ketersediaan ikan, air bersih dan sumber makanan lainnya. Susahnya akses transfortasi, akomondasi dan informasi akibat sarana dan prasarana yang rusak. Lingkungan yang rusak menjadi tempat vektor penyakit berkembang biak seperti; nyamuk, lalat, cacing dan banyak lagi.