Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

United ke Final dengan Merangkak

22 April 2024   17:59 Diperbarui: 22 April 2024   18:03 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manchester United versus Conventry di semifinal Piala FA (22/04). Sumber: sport.detik.com

"Coventry looked like a Premier League team and Manchester United looked like a Championship team". – Roy Keane

Entah apa yang diteriakkan Andre Onana kepada Ben Sheaf sebelum eksekusi tendangan penalti kelima Conventry City. Setelah itu, sorotan mata sang kapten seolah menunjukkan keraguan. Alhasil, bola tendangannya melesat tinggi. Mungkin menyusul sepakan Lautaro Martinez?

Upaya Manchester United untuk menginjak final Piala FA berurutan dalam dua tahun jelas tidak mudah. Berhadapan dengan tim dari kasta kedua liga Inggris di semifinal malam tadi, United praktis diunggulkan. Wembley diprediksi menjadi ladang pembantaian.

Tak dinyana. Mereka harus berdarah-darah untuk sampai ke adu penalti.

Unggul cepat dua gol di jelang rehat, Setan Merah melebarkan jarak lewat andil Bruno Fernandes di menit 58’. Namun pertandingan tak usai sebelum peluit panjang. Sisa waktu dua puluh menit cukup bagi Conventry untuk tancap gas mengejar ketertinggalan. United seolah berhenti bermain.

Bahkan seandainya saja tidak diitervensi VAR, bisa dipastikan fan Manchester merah akan bersiap masuk goa untuk beberapa hari kedepan. Beruntung, ujung sepatu Haji Wright terperangkap offside. Nyaris!

Kejengkelan penggemar jelas terwakilkan oleh komentar Roy Keane diatas. Sebenarnya yang tim Liga Primer ini yang mana, sih? Bermodal permainan tadi malam, jelas Setan Merah tidak datang ke final dengan gagah. Tertatih dan akhirnya seperti merangkak.

Badai Cedera

Erik Ten Hag akan selalu punya jawaban atas performa naik turun MU. Menyikapi penampilan di semifinal piala FA malam tadi, Ten Haag memaparkan badai cedera yang menimpa timnya. Bagaimana tidak, tak kurang dari delapan pemain andalannya sedang terkapar di ruang perawatan.

Lini paling gawat tentu saja barisan pertahanan. Empat bek tengahnya sedang menjadi pasien rawat inap. Dalam hari-hari biasa, mungkin agak musykil kita lihat Casemiro berduet dengan Harry Maguire di depan gawang Onana.

Tentu saja ini bukan antitesis taktik Pep Guardiola yang meletakkan John Stones, seorang bek tengah, menjadi gelandang pivot. Bukan, bukan. Ten Haag bukan ikut-ikutan. Situasilah yang memaksanya.

“…you can’t play your best football when you’re not playing in your best position”-Eric Ten Hag.

Keberadaan pemain cadangan di lapangan terkadang mampu memberi dimensi berbeda. Namun tak jarang pula, karena jarang diturunkan atau bermain di luar posisinya, kebijakan tersebut menghadirkan ketidakseimbangan taktis dan teknis. Dengan kata lain : pertahanan kocar kacir.

Pertahanan Ala Championship

Situasi tertinggal acapkali mendorong sebuah tim untuk mencari gol penyemangat. Cukup satu gol, maka pertandingan bisa kembali ‘hidup’. Semangat tim tertinggal menyala kembali. Ketinggalan dua atau tiga gol tak lagi menjadi kemustahilan untuk dikejar.

Itulah yang disesalkan Keane tadi malam.

“..the goal gave Coventry belief and all of a sudden they looked like a Premier League team in extra-time and United looked like a Championship team.”

Keano memang dikenal cerewet pada mantan timnya. Kritik-kritiknya acapkali sepedas kuah seblak level 15 yang ditaburi merica. Namun khusus malam tadi, agaknya ucapan sang eks kapten layak diamini.

Perhatikan proses gol-gol pertama dan kedua Conventry. Terlihat jelas Elli Simms dan Callum O’Hare berada pada posisi bebas untuk melepaskan tembakan. Jalan tol! Bebas hambatan.

Gol pertama diawali dengan umpan silang Fabio Tavares di sisi kiri pertahanan United yang dikawal Aaron Wan-Bissaka. Nampak Wan-Bissaka berada terlalu jauh untuk mengganggu sayap conventry itu.

Taveres pun punya banyak waktu untuk melakukan cek posisi rekan di kotak penalti lalu mengirimkan umpan silang. Celakanya bagi United,  Simms, sang striker lawan justru bebas tak terkawal. Situasi empat (Maguire, Kobbie Mainoo, Casemiro, Diego Dalot) lawan dua (Simms dan Haji Wright) dalam kotak pertahanan tak mampu mencegah gawang Onana kebobolan.

Proses gol Elli Simms. Terlihat Simms berdiri tanpa kawalan. Sumber : tangkapan layar akun Youtube The Emirates FA Cup
Proses gol Elli Simms. Terlihat Simms berdiri tanpa kawalan. Sumber : tangkapan layar akun Youtube The Emirates FA Cup

Bila diperhatikan, sebelumnya Dalot telah memberi kode dengan menunjuk Simms. Tentu maksudnya agar ada yang menjaga. Namun konsentrasi Casemiro justru terpecah dengan mewaspadai Wright yang tepat berada di belakangnya. Lagipula, bukankah harusnya Dalot yang menjaga area kanan?

Lemahnya koordinasi antar pemain United kembali terlihat pada gol kedua. Meski berbau keberuntungan, namun patut dilihat proses awal sebelum bola ditendang mengenai punggung Wan-Bissaka dan masuk ke gawang.

Simms yang mengacak-acak sisi kanan pertahanan Setan Merah mengembalikan bola ke tengah. Tepat di depan kotak penalti United. Telah menunggu disana dalam kondisi tak terkawal, Callum O’Hare, gelandang serang Coventry. Satu kali control, O’Hare langsung berada pada posisi siap tembak. Sekali lagi jalan tol. Bebas penghalang.

Callum O'Hare bersiap melepas tembakan, gol kedua Conventry. Sumber : tangkapan layar akun Youtube The Emirates FA Cup
Callum O'Hare bersiap melepas tembakan, gol kedua Conventry. Sumber : tangkapan layar akun Youtube The Emirates FA Cup

Berdiri di depannya, gelandang bertahan United, Scott McTominay justru hanya menonton.  Seakan-akan mempersilakan O’Hare menguji kesigapan Onana. Bolong dan minim koordinasi.

Gol ketiga, sekaligus penyama kedudukan, setali tiga uang. Meski lahir dari titik putih, situasi pertahanan United sebelum handsball Wan-Bissaka (lagi-lagi) menjadi sasaran kritik tajam.

Begitu Wright melepas umpan silang, situasi di kotak penalti adalah delapan pemain berseragam merah versus empat biru langit. Dan di ujung tiang jauh, Bissaka harus berjibaku melawan dua orang. Sedangkan di dekatnya ada Fernandes dan Resmus Hojlund yang sedang jalan santai. Pertahanan ala apa ini?

Situasi sebelum handsbaal Wan-Bissaka. 8 versus 4. Sumber : tangkapan layar akun Youtube The Emirates FA Cup
Situasi sebelum handsbaal Wan-Bissaka. 8 versus 4. Sumber : tangkapan layar akun Youtube The Emirates FA Cup

**

Situasi lepas kendali pertandingan seperti malam tadi bukanlah hal yang pertama dijumpai Manchester United di musim ini. Bermain baik di paruh awal gim, lalu berantakan di akhir. Atas situasi ini, Erik Ten Haag punya istilahnya sendiri :

“..it’s not explainable”

Ten Haag jelas pening akan fenomena ini. Secara terbuka ia mengakui bahwa timnya tidak bermain baik dan perlu memperbaiki diri.

“Rasanya campur aduk. Cara kami ke final tidaklah oke. Kami seharusnya menangani pertandingan dengan lebih baik.”

Lebih lanjut ETH memandang bahwa kelolosan ke final tahun ini adalah pencapaian yang patut diapresiasi. Ten Haag dan pasukannya pasti berharap trofi Piala FA akan menjadi penyelamat musim mereka yang pasang surut.

Namun menyimak performa malam tadi, sepertinya United harus berbenah lebih, mengingat lawan final, meski juga berbaju biru, adalah tetangga yang berisik. Bukan Coventry lagi.

Curup,

22.04.2023

Muksal Mina Putra

Referensi : 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun