Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Guru Aini, Kelas Menulis, dan Consciousness

28 Desember 2020   17:19 Diperbarui: 28 Desember 2020   17:33 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kesadaran belajar. Sumber : Pixabay.com

 

Mereka yang ingin belajar, tidak bisa diusir - Andrea Hirata-Guru Aini.

Jika sudah membaca novel Guru Aini, tentu mafhum bahwa quote tersebut menggambarkan tekad baja Aini, seorang siswa SMU yang awalnya takut pada matematika, untuk menaklukkan ilmu berhitung tersebut, demi cita-citanya masuk Fakultas Kedokteran.

Perubahan sikap Aini terhadap matematika ditandai sang ayah yang menderita sakit. Bertekad hendak menjadi dokter, Aini tersadar bahwa untuk menggapai keinginannya itu, ia harus menguasai matematika. Tekad itulah yang mendorong Aini memeluk ilmu yang justru ia takuti sebelumnya. Apapun caranya!

Sosok yang dihadapi Aini bukan sembarang guru. Ibu Guru Desi, pengajar matematika yang keras bukan kepalang. Pontang-panting Aini datang untuk belajar. Ditolak, diremehkan, diusir, hingga akhirnya diterima. Prosesnya betul-betul menguji niat Aini.

Pada akhirnya, kekuatan tekad Aini lah yang menaklukkan Ibu Guru Desi, sekaligus menaklukkan matematika.

Oh, jujur saja, kekuatan tekad mampu menggerakkan manusia. Bahkan melampaui batas kemampuannya yang ia kira terbatas. Bukankah hal yang luar biasa bila setiap peserta didik ikut kelas dengan kesadaran bulat, tekad menjawab keingintahuan?

Membaca Guru Aini menampar saya. Sepengalaman pendidikan formal, sesungguhnya jarang sekali saya memasuki kelas dengan bekal niat pencarian ilmu yang bulat. Paling sering karena memang sudah waktunya masuk kelas. Hehe. Hal tersebut berlangsung bertahun-tahun, seturut dengan pemenuhan kewajiban belajar. Oh, blunder sekali.

Wujud kebulatan niat belajar yang dibuktikan dengan kegigihan menggali ilmu dan mengikuti alur belajar itu kemudian saya temukan dalam pengalaman di bulan ini, di kelas menulis Kompasianer Penulis Berbalas (KPB). Sebuah kelas menulis online yang digagas oleh teman-teman dari KPB dan diasuh oleh Kompasianer Khrisna Pabichara.

Kelas Menulis KPB

Mengikuti kelas menulis ini, sudah barang tentu antusias. Meski diiringi dengan rasa malu-malu kucing. Bagaimana tidak malu, lah, setoran tulisan di Kompasiana saja sudah absen diisi sejak Oktober. Malah sekarang belajar dikeliling Kompasioner-kompasianer handal yang malang melintang di platform ini.

Ketakjuban hilir mudik di pikiran saya tatkala mengikuti kelas ini. Sapaan yang ringan, penuh canda, namun tetap konsisten dan serius tatkala kelas dimulai. Jam belajar sebenarnya hanya 1,5 jam, diadakan per dua hari. Namun interaksi berlangsung sepanjang hari. Intens!

Antusiasme peserta kelas luar biasa. Ketaatan mengikuti aturan tanpa emoticon selama kelas, seturut dengan intensitas dan kualitas tugas yang disetorkan. Bukan kaleng-kaleng!

Bayangkan saja, tugas yang diberikan hari Senin, bisa jadi ada yang mengumpulkan pada hari Selasa. Bukan malas, lebih kepada kesempatan. Maklum, kelas ini melintasi ruang dan waktu. Antar kota, antar provinsi, antar negara.

Kegigihan (demikian istilah yang digunakan Daeng Khrisna) menggulirkan pesan whatsapp yang kadang sudah ratusan demi menyimak materi dan tugas di awal kelas layak diacungi lima jempol. Sang guru pun dengan tekun menyimak dan mengomentari tugas semua peserta. S-a-t-u p-e-r-s-a-tu. Tabik!.

Interaksi, antusiasme dan kesediaan memenuhi tanggung jawab penugasan di kelas ini kadang bikin saya tersenyum kecut. Berbeda sekali dengan kelas-kelas belajar di sekolah dan  kampus yang pernah saya alami. Entah itu secara tatap muka, ataupun kelas online. Padahal sama-sama kelas belajar, kan? Hanya saja yang satu tanpa banyak aturan, tanpa nilai akhir, tanpa IPK. Sedang satunya lagi adalah pembelajaran formal, dengan penilaian dan umpan balik berupa nilai kelulusan.

Hal yang saya soroti gairah tinggi dalam proses belajarnya. Kenapa justru kelas formal yang dibayar dengan Uang Kuliah Tunggal justru kehilangan semangat belajar didalamnya? Bukankah biasanya manusia sangat sensitif soal untung-rugi? Mungkin kalau soal belajar, tak kira lagi soal untung-rugi, hehe.

Aih, jangan-jangan metode mengajarnya yang kurang tepat? Jangan-jangan materinya terlalu berat? Jangan-jangan?

Pernah saya coba lontarkan pancingan di awal kelas. Ajakan untuk bertanya, sehingga kelas dapat dimulai dari menjawab pertanyaan peserta. Mereka mau tahu apa hari ini? Mau belajar apa?

Kemudian yang saya dapati adalah sekumpulan anak muda yang diam, hening, sebagian berlagak diskusi dengan teman sebelahnya, sebagian lagi menulis entah apa.

Sempat pula dimulai dengan pertanyaan sebagai pembuka kelas. Jawaban pun muncul dari beberapa orang. Ada sedikit interaksi hangat, memutar materi berdasarkan pertanyaan tadi. Namun ya itu, respon hanya beberapa orang, dan berhenti di kelas saja.

Pembelajaran online lewat grup whatsapp lebih parah lagi. Chat yang muncul dari peserta hanyalah "Hadir.", "Baik, Pak.", "Siap, Pak.", "Waalaikumsalam wr.wb". Krik-krik kan? Haha.

Memang, sih, ada banyak faktor yang mengawal lancarnya sebuah proses belajar. Bisa niat kedua belah pihak, mutu materi, cara penyampaian dan kondisi tempat ataupun psikis pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Hm.. Tapi saya hendak menyoroti hal pertama yang mesti ada : niat. Tentu saya tidak akan menulis tentang pahala setiap amal itu bergantung niat. Bukan, bukan itu. Beda kamar, meski objeknya sama.

Seturut dengan teladan dari Aini, tekad belajar menduhului segalanya.

 

Kesadaran Belajar a.k.a Consciousness

Niat, tekad, alias keinginan belajar, mungkin bolehlah kita samakan dengan istilah kesadaran belajar. Consciousness kalau kata William James. Apa itu? 

Sebentuk dorongan ingin tahu dari dalam yang kemudian menggerakkan pikiran dan perbuatan untuk mencari jawab dari rasa ingin tahu tersebut. Itu kalau kata saya. Lebih kurang begitulah, agar kita paham di alur yang sama.

Saya punya teori tersendiri, yang tentu saja belum diuji secara ilmiah. Menurut saya, sekian ratus strategi, metode dan model pembelajaran yang sekarang menjadi materi wajib dikuasai oleh para calon pendidik, ditujukan bagi mereka yang justru belum menemukan kesadaran belajar sendiri. Belum menemukan jawaban, apa yang dicari di kelas ini? Mau belajar apa? Mengapa harus belajar ini?

Tentu seorang guru yang keren adalah guru yang mampu menggunakan metode yang tepat untuk anak didiknya. Namun anak didik yang keren adalah mereka yang mampu menetapkan tujuan yang ingin mereka gapai. Bila sudah tahu mau apa, maka mereka akan gigih mencari jawaban dari apa yang mereka ingin tahu. Jalannya akan ditunjukkan oleh sang guru yang keren tadi. Klop sudah. Tekad bulat, dihantar ke jalan yang lurus.

Lihatlah, entah di rumah ataupun lembaga pendidikan formal, keluhan tentang ketekunan belajar selalu hadir. Apatah lagi masa di belajar daring sekarang. Bisa jadi pangkal masalah ada di kultur belajar kita yang mengedepankan pencapaian nilai, pengejaran standar-standar, jauh dari mengutamakan penanaman kesadaran belajar terlebih dahulu. Siapa yang salah? Entahlah. Benang kusut, kan?

Kesadaran belajar tentu dipantik dari kejelasan sebuah tujuan belajar. Anak didik mau jadi apa? Mau cari apa? Mau menguasai apa agar mencapai tujuan. Maaf, bukan tujuan pendidikan nasional yang saya maksud. Namun tujuan belajar secara personal. Pengembangan diri masing-masing anak didik.

Oh, tentu saja akan sangat kompleks bila dibenturkan dengan sistem pendidikan yang biasa kita jalani. Yah, sejak kapan sistem pendidikan tak bikin kening berkerut? Hehe.

**

Saya kira gairah yang tinggi dari peserta kelas memang berawal dari kesadaran belajar masing-masing orang. Sedari awal ikut kelas sudah tahu apa yang mau dicari. Telah sadar, semacam permata apa yang dapat disingkap dari kelas ini.

Bila kesadaran belajar telah ada sebelumnya, maka apapun metode yang dipakai sang guru, ritme belajar dan pelbagai bentuk ujian, para murid akan bertahan, meraup butir-butir pengetahuan, memuaskan dahaga ilmu, menggapai tujuan. Tabik!

Curup,

28.12.2020

Muksal Mina Putra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun