Ketakjuban hilir mudik di pikiran saya tatkala mengikuti kelas ini. Sapaan yang ringan, penuh canda, namun tetap konsisten dan serius tatkala kelas dimulai. Jam belajar sebenarnya hanya 1,5 jam, diadakan per dua hari. Namun interaksi berlangsung sepanjang hari. Intens!
Antusiasme peserta kelas luar biasa. Ketaatan mengikuti aturan tanpa emoticon selama kelas, seturut dengan intensitas dan kualitas tugas yang disetorkan. Bukan kaleng-kaleng!
Bayangkan saja, tugas yang diberikan hari Senin, bisa jadi ada yang mengumpulkan pada hari Selasa. Bukan malas, lebih kepada kesempatan. Maklum, kelas ini melintasi ruang dan waktu. Antar kota, antar provinsi, antar negara.
Kegigihan (demikian istilah yang digunakan Daeng Khrisna) menggulirkan pesan whatsapp yang kadang sudah ratusan demi menyimak materi dan tugas di awal kelas layak diacungi lima jempol. Sang guru pun dengan tekun menyimak dan mengomentari tugas semua peserta. S-a-t-u p-e-r-s-a-tu. Tabik!.
Interaksi, antusiasme dan kesediaan memenuhi tanggung jawab penugasan di kelas ini kadang bikin saya tersenyum kecut. Berbeda sekali dengan kelas-kelas belajar di sekolah dan  kampus yang pernah saya alami. Entah itu secara tatap muka, ataupun kelas online. Padahal sama-sama kelas belajar, kan? Hanya saja yang satu tanpa banyak aturan, tanpa nilai akhir, tanpa IPK. Sedang satunya lagi adalah pembelajaran formal, dengan penilaian dan umpan balik berupa nilai kelulusan.
Hal yang saya soroti gairah tinggi dalam proses belajarnya. Kenapa justru kelas formal yang dibayar dengan Uang Kuliah Tunggal justru kehilangan semangat belajar didalamnya? Bukankah biasanya manusia sangat sensitif soal untung-rugi? Mungkin kalau soal belajar, tak kira lagi soal untung-rugi, hehe.
Aih, jangan-jangan metode mengajarnya yang kurang tepat? Jangan-jangan materinya terlalu berat? Jangan-jangan?
Pernah saya coba lontarkan pancingan di awal kelas. Ajakan untuk bertanya, sehingga kelas dapat dimulai dari menjawab pertanyaan peserta. Mereka mau tahu apa hari ini? Mau belajar apa?
Kemudian yang saya dapati adalah sekumpulan anak muda yang diam, hening, sebagian berlagak diskusi dengan teman sebelahnya, sebagian lagi menulis entah apa.
Sempat pula dimulai dengan pertanyaan sebagai pembuka kelas. Jawaban pun muncul dari beberapa orang. Ada sedikit interaksi hangat, memutar materi berdasarkan pertanyaan tadi. Namun ya itu, respon hanya beberapa orang, dan berhenti di kelas saja.
Pembelajaran online lewat grup whatsapp lebih parah lagi. Chat yang muncul dari peserta hanyalah "Hadir.", "Baik, Pak.", "Siap, Pak.", "Waalaikumsalam wr.wb". Krik-krik kan? Haha.