Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Seksualitas untuk Anak, Kenapa Tidak?

3 Juli 2020   16:23 Diperbarui: 3 Juli 2020   16:16 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adik ipar saya heboh. Teriak-teriak dia di depan TV. Kami tergopoh-gopoh menghampiri. Ada apa gerangan? Rupanya dia lagi melampiaskan keheranan dan ketidaksetujuan akan sebuah sinetron baru yang baru saja diputar.

"Masa masih SMP sudah hamil!"

"Engga banget nih sinetron. Ga masuk akal. SMP sudah pacar-pacaran!"

"Sinetron seperti ini yang ga jelas. Ga mendidik!"

Lah, emang ada sinetron yang mendidik hari-hari ini?

"Masih SMP sudah pacaran. Aku lho SMA, belum punya pacar!"

Nah, curhat! hahaha

Hari-hari kemaren jagad media sosial juga sedang heboh soal sinetron terkini tersebut. Beragam komentar berseliweran. Ada yang marah-marah, jutek, ada juga yang berkomentar dengan bilang ini adalah pendidikan seksualitas. Wait, whaaat?

Sebagai pecinta tayangan sepakbola, saya jelas anti sinetron. Ooh, bapak-bapak masa nonton sinetron sih. Ga laki! Opini saya sih begitu. Namun menyoal pendidikan seksualitas, saya sepakat bahwa hal itu harus diamalkan. Dikenalkan. Terutama sejak masa kanak-kanak. Tapi tidak dengan kemasan dan konsep semacam sintron itu.

Pendidikan seksualitas jelas berbeda dengan pendidikan seks.  Saya memahami pendidikan seksualitas sebagai upaya pengembangan fitrah seksualitas anak dalam koridor gender. Baik sebagai laki-laki dan perempuan. Menjadi laki-laki seutuhnya, menjadi perempuan seutuhnya.

Di tulisan saya tentang minimnya peran laki-laki dalam pendidikan anak usia dini kemaren, sempat saya senggol bahwa pentingnya peran lelaki adalah untuk menyeimbangkan perkembangan rasional dan emosional anak.

Pada fase perkembangan, usia 2-6 tahun adalah masa dimana anak harus mendapatkan pendampingan yang berimbang dari sosok ibu dan ayah, untuk mengajarkan sisi feminism dan maskulin sebagai bagian pendidikan seksualitas.

Mbak Syarifah dan Mbak Niek berkomentar di tulisan tersebut, bahwa dalam pengalamannya, psikolog menyarankan PAUD untuk menempatkan guru laki-laki dan perempuan secara berimbang. Sepakat.

Masa PAUD dan sekolah dasar adalah masa-masa emas perkembangan fitrah seksualitas anak. Penemuan jati diri sebagai lelaki dan perempuan sebenarnya justru pada pada masa ini, masa sebelum anak mengalami pubertas.

Elly Risman, membagi perkembangan fitrah seksualitas anak kedalam empat fase ;

Pertama, usia 0-2 tahun

Masa-masa awal ini, anak harus didekatkan pada ibunya. Karena ini adalah masa dimana anak masih menyusu. Masih sepenuhnya bergantung pada ASI ibu. Bukan rahasia, bahwa ibu-ibu disarankan untuk menyusui anaknya genap dua tahun. Rentang ini berimplikasi baik pada perkembangan otak anak.

Kedua, usia 2-7 tahun

Di periode kedua ini, anak didekatkan kepada kedua orang tuanya. Ini dimaksudkan untuk memperkenalkan pada anak identitas gender yang sebenar sebagai laki-laki dan perempuan. Apalagi bagi orang tua yang memiliki anak sepasang.

Anak akan belajar membedakan laki-laki dan perempuan dengan melihat orangtuanya. Beginilah pakaian laki-laki, pakaian perempuan, cara bicara laki-laki, cara bicara perempuan, cara bertindak, cara berpikir.

ilustrasi ayah dan anak lelaki. Sumber foto : liputan6.com
ilustrasi ayah dan anak lelaki. Sumber foto : liputan6.com
Sehingga setidaknya sejak usia 3 tahun anak sudah dapat mengidentifikasi dan menyebut dirinya sebagai seorang lelaki, sebagai seorang perempuan.

Bayangkan, bagaimana mungkin pada fase sepenting ini sosok lelaki justru absen di rumah dan lembaga pendidikan anak? Kemana anak lelaki akan belajar tentang kepemimpinan, tanggung jawab, ketegasan bila karakter maskulin jutru tak ada untuk dijadikan contoh?

Atau justru yang absen adalah Ibu. Lebih gawat lagi!

Ketiga, usia 7-10 tahun

Anak laki-laki didekatkan dengan ayahnya, sedang anak perempuan didekatkan dengan ibunya. Masa ini anak belajar secara "privat" dengan maestro karakter masing-masing. Biarkan anak lelaki ikut ayahnya ke masjid, shalat berjamaah, membersihkan kendaraan, bermain bola. Agar ia belajar tanggung jawab, profesionalisme dan kepemimpinan sebagai laki-laki. Belajar peran sebagai seorang laki-laki berikut dengan tanggung jawab sosialnya.

Ayah pula yang mengajarkan bahwa seorang laki-laki memiliki sperma, dan ada konsekuensinya. Dan seterusnya tentang mandi wajib. Ayah lah yang harus mengajarkan.

Pxhere.com
Pxhere.com
Sang gadis cilik diajak ke dapur, merawat tanaman, semua aktifitas keperempuanan yang dilakukan ibunya. Agar ia belajar sifat feminism sebagai pendidik, penebar kasih sayang dan ketelatenan dari ibunya. Belajar peran keperempuanan dan peran keibuan.

Ibu pula yang mengenalkan bahwa perempuan memiliki keistimewaan berupa rahim, serta konsekuensi memilikinya bagi seorang perempuan.

Keempat, usia 10-14 tahun

Menjelang masa puber, pola kedekatan justru dibalik. Anak lelaki didekatkan dengan ibunya, dan anak perempuan berakrab dengan ayahnya. Kenapa? Ini adalah fase kritis. Sebuah fase transisi menuju kedewasaan.

Begitu memasuki masa puber, anak akan mengenal rasa suka pada lawan jenisnya. Maka anak lelaki perlu diajak mengenal karakter perempuan, mengetahui isi hati perempuan melalui kacamata ibunya, sang perempuan. Dengan begitu, si bujang akan menghargai lawan jenisnya, sebagaimana ia menghargai ibunya.

Pun demikian dengan anak perempuan, diajak untuk mengenal tipikal laki-laki dari kacamata ayahnya. Ia akan menjadikan ayah sebagai standar mutu seorang lelaki. Kekosongan peran ayah pada fase ini, rentan menjerumuskan anak perempuan pada jebakan pencarian akan sosok lelaki idaman. Bingung, tanpa panutan.

***

Masa pubertas adalah masa yang menandai kedewasaan seseorang secara fisik. Payahnya, usia fisik terkadang tak berimbang dengan usia psikis. Sudah baligh tapi belum aqil!

Tubuhnya berkembang cepat, seiring dengan pengaruh hormon  yang alami. Harusnya beriring pula dengan kedewasaan secara akal.

Kematangan pendidikan fitrah seksualitas ini akan menjadi modal anak menghadapi masa pubertas.  Pemahaman soal karakter lawan jenis yang ideal mudah-mudahan akan melindunginya dari kerawasan akan kerusakan masa puber.

Serusak sinetron baru itu.

Curup,

03.07.2020

Muksal Mina Putra

Sumber : Buku Fitrah Based Education (Harry Santosa, 2017)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun