Pada fase perkembangan, usia 2-6 tahun adalah masa dimana anak harus mendapatkan pendampingan yang berimbang dari sosok ibu dan ayah, untuk mengajarkan sisi feminism dan maskulin sebagai bagian pendidikan seksualitas.
Mbak Syarifah dan Mbak Niek berkomentar di tulisan tersebut, bahwa dalam pengalamannya, psikolog menyarankan PAUD untuk menempatkan guru laki-laki dan perempuan secara berimbang. Sepakat.
Masa PAUD dan sekolah dasar adalah masa-masa emas perkembangan fitrah seksualitas anak. Penemuan jati diri sebagai lelaki dan perempuan sebenarnya justru pada pada masa ini, masa sebelum anak mengalami pubertas.
Elly Risman, membagi perkembangan fitrah seksualitas anak kedalam empat fase ;
Pertama, usia 0-2 tahun
Masa-masa awal ini, anak harus didekatkan pada ibunya. Karena ini adalah masa dimana anak masih menyusu. Masih sepenuhnya bergantung pada ASI ibu. Bukan rahasia, bahwa ibu-ibu disarankan untuk menyusui anaknya genap dua tahun. Rentang ini berimplikasi baik pada perkembangan otak anak.
Kedua, usia 2-7 tahun
Di periode kedua ini, anak didekatkan kepada kedua orang tuanya. Ini dimaksudkan untuk memperkenalkan pada anak identitas gender yang sebenar sebagai laki-laki dan perempuan. Apalagi bagi orang tua yang memiliki anak sepasang.
Anak akan belajar membedakan laki-laki dan perempuan dengan melihat orangtuanya. Beginilah pakaian laki-laki, pakaian perempuan, cara bicara laki-laki, cara bicara perempuan, cara bertindak, cara berpikir.
Bayangkan, bagaimana mungkin pada fase sepenting ini sosok lelaki justru absen di rumah dan lembaga pendidikan anak? Kemana anak lelaki akan belajar tentang kepemimpinan, tanggung jawab, ketegasan bila karakter maskulin jutru tak ada untuk dijadikan contoh?
Atau justru yang absen adalah Ibu. Lebih gawat lagi!
Ketiga, usia 7-10 tahun
Anak laki-laki didekatkan dengan ayahnya, sedang anak perempuan didekatkan dengan ibunya. Masa ini anak belajar secara "privat" dengan maestro karakter masing-masing. Biarkan anak lelaki ikut ayahnya ke masjid, shalat berjamaah, membersihkan kendaraan, bermain bola. Agar ia belajar tanggung jawab, profesionalisme dan kepemimpinan sebagai laki-laki. Belajar peran sebagai seorang laki-laki berikut dengan tanggung jawab sosialnya.