Fakta sebenar, persaingan justru terkadang membuat pening. Godaan-godaan untuk melakukan apa saja pun datang. Yang penting menang! Bila sudah begitu, kemana hakekat pendidikan yang bertujuan memerdekakan manusia?
Tentukan Sendiri Standarnya
Bagaimana mendorong terjadinya supertisi? Saya pernah membaca bahwa di Finlandia, sebelum dimulainya persekolahan, ada kegiatan diskusi yang diinisiasi pihak sekolah. Yang diajak bicara adalah guru, calon murid, orangtua dan psikolog.
Keempatnya mendiskusikan apa yang ingin dipelajari oleh sang calon murid itu nanti dalam semester yang akan datang. Lalu dibahas pula soal target capaian si anak. Sebatas mana limit yang ingin dan bisa ia gapai. Jadilah anak, dibantu orangtua dan psikolog, menetapkan sendiri standar capaiannya. Itulah yang akan ia kejar.
Kenapa surpetisi diperlukan? Setiap anak punya keunikan masing-masing. Minat, gaya belajar, kecepatan belajar, bakat, karakter, semuanya berbeda bagi setiap anak. Ciri khas itulah yang menjadi kekuatannya masing-masing. Maka keunikan itu yang perlu dikembangkan. Bagaimana mungkin sesuatu yang unik diadu dengan keunikan lainnya?
Bagaimana mungkin burung unta dilatih, diajari dan dilombakan untuk kompetisi terbang, bersaing dengan burung elang misalnya? Padahal keduanya keunikan masing-masing. Meskipun sama-sama burung!
Surpetisi yang menonjolkan potensi diri sendiri, pada akhirnya juga akan membawa diri pada posisi keberhasilan. Seperti satu video lama tentang presentasi Steve Job yang kemarin saya lihat di Twitter.
Job menginginkan Apple untuk mengenalkan diri dengan keunikan sendiri, memasarkan diri dengan kelebihan yang ditawarkan. Bukan dengan memburukkan brand lain yang menjadi pesaing.
Alhasil, Apple kemudian sukses menjadi merk eletronik yang membuat orang menanti produk terbarunya. Karena mereka punya ciri khas. Memberi identitas pada si pembeli produk.
***
Pernah ada satu lomba mewarnai antar anak usia TK. Kebetulan saya menjadi panitia. Lazimnya lomba mewarnai, maka orang tua dan guru dilarang berdiri dekat-dekat. Susah-susah kami meminta mereka untuk meninggalkan anaknya berusaha sendiri. Sampai sedikit dongkol : niat bener mau anaknya juara!