Saya selalu kagum pada anak-anak. Pada kepolosan dan kemurnian mereka. Lihatlah, pada awal-awal bersekolah di PAUD/TK, semangatnya berdentum-dentum. Bangun pagi, penuh semangat. Setiap hari ingin ke sekolah. Ternyata sekolah itu seru! Banyak main!
Beranjak ke sekolah dasar, kelas-kelas dasar diisi oleh wajah-wajah ceria. Matanya berbinar-binar setiap ke sekolah. Namun, semakin lama kok semakin tak asyik ya. Harus bisa ini, harus bisa itu. Belajar ini, belajar itu.
Tiba-tiba diujung semester, bertemulah pada satu pekan yang auranya berbeda dari hari-hari biasanya. Ujian. Apa pula ini?
Belum lagi orang tua yang sudah siap menunggu hasil belajar anaknya, sambil bercakap-cakap. Haduh, anaknya rangking berapa? Dapat nilai berapa? Hancur mina.
Pelan-pelan, kita dibesarkan dengan budaya kompetisi. Persaingan untuk menjadi yang terbaik. Berebut dengan orang lain, mengejar standar yang juga ditetapkan oleh orang lain. Untuk apa?
Edward de Bono mengenalkan satu konsep alternatif dari kompetisi. Yakni Surpetisi.
Berbanding terbalik dengan kompetisi yang menonjolkan persaingan dengan orang lain, surpetisi justru mengajak untuk mengalahkan musuh terbesar umat manusia : diri sendiri.
Standar ditetapkan oleh diri sendiri. Lalu berusaha melampauinya, membuat kembali standar baru. Menguji batas kemampuan diri sendiri. Pada akhirnya menjadikan diri lebih baik, tanpa perlu dikendalikan oleh capaian orang lain.
Dikendalikan? Ya. Terkadang, kompetisi membuat diri tak lagi merdeka. Tanpa sadar, prilaku kita dikendalikan oleh capaian pesaing. Waduh, si A juara 1. Nilai matematikanya lebih tinggi. Harus dikejar!
Jadilah ia mengejar pencapaian matematika. Mengabaikan pelajaran bahasa yang justru sebenarnya jadi keunggulannya. Semakin sang pesaing maju, semakin keras pula usaha si anak untuk mengejar. Hal yang seperti ini terjadi di dunia pendidikan? Aduh...