Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hari Keluarga, Anak Hanyalah Angka Statistik?

29 Juni 2020   21:05 Diperbarui: 29 Juni 2020   22:04 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak, tentu bukan sekedar angka. Sumber foto : pixabay.com

Istri saya seorang filsuf. Demikian kecurigaan saya hari-hari ini. Pertanyaannya acapkali terasa berat.

"Mau dibawa ke mana kami ini?"

Kami ini maksudnya dia; istri, dan anak-anak.

Oh, tentu saja maksudnya bukan mau dibawa jalan-jalan ke mana. Walaupun kadang-kadang ngasih kode begitu. Maksudnya lebih dalam dari itu. Soal misi keluarga.

Mengapa kita menikah? Mengapa kita diberi anak? Wuih, dijawab sembarangan bakal bikin piring melayang.

Kebetulan hari ini adalah hari keluarga. Jadilah kami diskusi tentang keluarga.

Berkeluarga adalah pilihan peran. Menjadi suami, menjadi istri, ada tanggung jawab untuk menjalankan peran masing-masing.

Begitupun ketika memiliki anak. Buah hati yang lucu-lucu tentu bukanlah sekadar untuk menambah anggota dalam kartu keluarga. Hadirnya mereka adalah amanah. Amanah yang harus dijaga, hingga mereka dewasa.

Selayaknya amanah, maka tentu yang dititipi haruslah memberikan yang terbaik untuk menjaga amanah itu. Karena ini adalah manusia, maka dijaga dengan diberikan makan, pakaian, tempat tinggal, cinta dan kasih sayang. Tak lupa pula pendidikan. Toh, rumah adalah madrasah pertama.

Keluarga, Sekolah Utama..

Tahun ajaran baru segera tiba. Sekarang adalah masa-masa di mana orangtua berlomba-lomba mendaftarkan anaknya sekolah. Ah, tak kurang berbagai jenis sekolah menjadi sasaran pendaftaran.

Perlahan, anak mulai memasuki jenjang sekolah formal. Setahap demi setahap. Perlahan pula, orangtua menyerahkan peran mendidik pada orang lain. Pada institusi. Seakan begitu usia sekolah, lepas pula tanggung jawab orangtua sebagai pendidik. Seakan pendidikan baru dimulai sejak anak masuk sekolah.

Terkadang orangtua datang mendaftarkan anak diiringi dengan pesan :

"Bu guru, titip anak saya ya. Mohon dibimbing biar pandai. Biar jadi anak baik."

Dahi Ibu guru pun berkerut. Apakah anak ini tak pandai? Tak baik?

Seolah-olah sekolah adalah pabrik. Seolah-olah guru adalah tukang sulap. Sim salabim, jadilah anak yang pandai. Jadilah anak yang baik. Terlupa, bahwa bekal terbaik seharusnya dibawa dari rumah. Racikan kasih sayang Ibu dan ego sang Ayah.

Ada semacam miskomunikasi antara sekolah dan orangtua. Orangtua berharap anaknya pulang dari sekolah sudah dalam keadaan "jadi". Berharap memetik hasil sekolahnya di rumah. Sekolah berharap anak datang ke sekolah dalam keadaan sudah "jadi". Siap untuk diajar.

Anak-anak, tentu bukan sekedar angka. Sumber foto : pixabay.com
Anak-anak, tentu bukan sekedar angka. Sumber foto : pixabay.com
Padahal, bila kita merenung, tentu penyematan label keluarga sebagai pendidikan pertama dan utama bukanlah tanpa alasan dan konsekuensi. Ada beberapa hal-hal mendasar yang hanya bisa dipenuhi di rumah sebagai lembaga pendidikan pertama.

Misalnya tentang pengembangan fitrah seksualitas. Mengutip buku Fitrah Based Education, penanaman jadi diri sebagai sebagai laki-laki sejati dan perempuan sejati haruslah dilakukan oleh kedua orang tua. Pada usia 0-2 tahun, anak-anak didekatkan pada ibunya karena dalam fase menyusui.

Usia 3-6 tahun, anak lelaki dan perempuan didekatkan kepada ayah dan ibu agar memiliki keseimbangan emosional dan rasional. Sejak usia 3 tahun, anak sudah harus memastikan identitas seksualitasnya. Menginjak 7-10 tahun, anak lelaki didekatkan kepada ayah, anak perempuan didekatkan pada ibunya.

Peran seperti ini tidak dapat digantikan oleh pihak ketiga. Harus orangtua langsung yang turun tangan

Termasuk pula didalamnya penanaman adab, sejatinya bermulai dari rumah. Dikuatkan di dalam terlebih dahulu.

Seperti sudah menjadi kelaziman, kita temukan berita tentang kerusakan moral yang justru dilakukan oleh anak-anak sekolah. Para anak muda yang seharusnya menjadi kaum terdidik, kaum beradab. Namun justru biadab dalam balutan seragam berlogo Tut Wuri Handayani. Miris!

Dengan segala hormat, sekolah seharusnya adalah asupan pendidikan yang bersifat complement alias pelengkap. Dasar utama ada di rumah. Di keluarga. Tanggung jawab pada diri Ayah dan Ibu.

Punya Keluarga, Punya Tujuan...

Serusak-rusaknya seseorang, pasti suatu waktu akan menyadari bahwa hidupnya harus punya tujuan. Punya arah. Agar tak terombang-ambing.

Begitupun dengan berkeluarga. Apakah berkeluarga hanyalah sebagai sebuah fase hidup? Pemenuhan kodrat sebagai makhluk yang berkembang biak?

Menikah, bekerja, punya anak, punya cucu, lalu mati. Aih, sesederhana itu. Iya kah?

Jika meyakini bahwa setiap hal di dunia ini ada maksud dan tujuannya, maka tentu dapat pula kita meyakini bahwa berkeluarga pun ada maksud dan tujuan.

Meminjam istilah Adriano Rusfi, berkeluarga adalah kesempatan untuk menempatkan diri dan keluarga kedalam peran peradaban. Menjadi satu dari sekian banyak batu bata yang membangun peradaban.

Maka perancangan kehidupan pasca menikah pun tak lagi berbicara tentang peran diri. Tapi mengajak anggota keluarga untuk menemukan perannya masing-masing. Agar kemudian keluarga secara berjamaah pun memiliki peran dalam kehidupan.

Pemaknaan peran dapat dilakukan dengan mendorong anggota keluarga, terutama anak untuk menemukan dan mengembangkan potensinya masing-masing. Hal ini tidak dapat dioper ke sekolah. Bukankah yang mengenal anak sedari kecil justru adalah orangtua?

Kita menitipkan anak ke sekolah, menyerahkan bulat-bulat pendidikan anak, berharap anak akan "jadi". Akan sempurna. Seakan lupa bertanya pada diri. Anak diamanahkan pada siapa?

Bukankah anak itu dititipkan kepada kita, para orangtua, bukan pada orang diluar lingkaran rumah? Maka kenapa kedaulatan pendidikan justru ada pada orang ketiga?

Jangan sembarang menuduh guru tak pandai mengajar, atau anak yang tak mampu menangkap ilmu. Jangan-jangan kita para orangtua lah yang zalim. Melepas fungsi pendidik. Berlindung dibalik tanggung jawab mencari nafkah.

pendidikan keluarga, pendidikan utama.sumber foto : pixabay.com
pendidikan keluarga, pendidikan utama.sumber foto : pixabay.com
***

Maka lebih baiklah bila perubahan itu dimulai dari rumah. Kembali menyemai pendidikan anak di rumah. Bekerja, bukanlah alasan untuk meninggalkan pentingnya pendidikan rumah.

Ayah dan Ibu, keduanya punya peran masing-masing dalam pendidikan anak.

Keluarga, madrasah pertama dan utama. Berlangsung sepanjang hidup.

Jangan sampai nanti kita ditanya :

"Ayah, Ibu, benarkah kami anak-anakmu? Atau hanya angka statistik?"

Selamat Hari Keluarga!

Curup
29.06.2020
Muksal Mina Putra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun