Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hari Keluarga, Anak Hanyalah Angka Statistik?

29 Juni 2020   21:05 Diperbarui: 29 Juni 2020   22:04 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak, tentu bukan sekedar angka. Sumber foto : pixabay.com

Dengan segala hormat, sekolah seharusnya adalah asupan pendidikan yang bersifat complement alias pelengkap. Dasar utama ada di rumah. Di keluarga. Tanggung jawab pada diri Ayah dan Ibu.

Punya Keluarga, Punya Tujuan...

Serusak-rusaknya seseorang, pasti suatu waktu akan menyadari bahwa hidupnya harus punya tujuan. Punya arah. Agar tak terombang-ambing.

Begitupun dengan berkeluarga. Apakah berkeluarga hanyalah sebagai sebuah fase hidup? Pemenuhan kodrat sebagai makhluk yang berkembang biak?

Menikah, bekerja, punya anak, punya cucu, lalu mati. Aih, sesederhana itu. Iya kah?

Jika meyakini bahwa setiap hal di dunia ini ada maksud dan tujuannya, maka tentu dapat pula kita meyakini bahwa berkeluarga pun ada maksud dan tujuan.

Meminjam istilah Adriano Rusfi, berkeluarga adalah kesempatan untuk menempatkan diri dan keluarga kedalam peran peradaban. Menjadi satu dari sekian banyak batu bata yang membangun peradaban.

Maka perancangan kehidupan pasca menikah pun tak lagi berbicara tentang peran diri. Tapi mengajak anggota keluarga untuk menemukan perannya masing-masing. Agar kemudian keluarga secara berjamaah pun memiliki peran dalam kehidupan.

Pemaknaan peran dapat dilakukan dengan mendorong anggota keluarga, terutama anak untuk menemukan dan mengembangkan potensinya masing-masing. Hal ini tidak dapat dioper ke sekolah. Bukankah yang mengenal anak sedari kecil justru adalah orangtua?

Kita menitipkan anak ke sekolah, menyerahkan bulat-bulat pendidikan anak, berharap anak akan "jadi". Akan sempurna. Seakan lupa bertanya pada diri. Anak diamanahkan pada siapa?

Bukankah anak itu dititipkan kepada kita, para orangtua, bukan pada orang diluar lingkaran rumah? Maka kenapa kedaulatan pendidikan justru ada pada orang ketiga?

Jangan sembarang menuduh guru tak pandai mengajar, atau anak yang tak mampu menangkap ilmu. Jangan-jangan kita para orangtua lah yang zalim. Melepas fungsi pendidik. Berlindung dibalik tanggung jawab mencari nafkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun