“Lho mbak, anaknya koq tidak pernah dapat rangking? Padahal kan belajarnya bareng terus sama anak saya”,
“Wah, anak saya umur segini sudah bisa ngomong inggris, lho”, atau
“Coba lihat anaknya si anu, sudah bisa ini itu”.
Jika orang tua terpancing dengan komentar tersebut, yang muncul kemudian adalah perbandingan-perbandingan. Memandang sebelah mata, seolah anak sendiri tak punya kelebihan, pecundang. Akhirnya berujung pada sikap yang selalu menyalahkan anak.
Yang menjadi korban adalah anak. Akan tumbuh rasa minder, ketidakpercayaan diri. Bahkan bisa jadi menjadi kekesalan dalam diri si anak, menumpuk bertahun-tahun hingga suatu saat perasaan itu meletus.
Menghancurkan hubungan orang tua-anak. Menghancurkan masa depan. Salah siapa?
***
Marilah mencuci otak. mencerahkan sudut pandang tentang makna sekolah. Agar dapat pula kita mengajak anak menghargai pencapaiannya. Agar ia tak galau dengan tuntutan-tuntutan, buah perspektif masyarakat.
Agar tak semata, sekolah jadi tempat nitip anak!
Curup