Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Akan Sekolah, Orangtua Cuci Otak Dulu

24 Juni 2020   13:36 Diperbarui: 24 Juni 2020   13:34 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anak sekolah yang ceria. sumber : pixabay.com

Siapkah ia menghadapi persepsi lingkungan bahwa keberhasilan sekolah diukur dari rangking-rangking? Dari nilai-nilai? Bagaimana reaksinya nanti bila tak juara?

Gawat ini, harus cuci otak dulu!

***

Saya kira, banyak sekali orang tua yang berpikiran sama. Kekhawatiran-kekhawatiran mengiringi langkah anak masuk sekolah. Perlahan, kekhawatiran berubah menjadi harapan. Harapan menjadi tuntutan. Ketika tak kesampaian, meletuslah ia menjadi perkara.

Kesempurnaan seolah menjadi kata ajaib mewakili sosok anak yang pintar. Anak yang berhasil. Keberhasilan masa sekolah di Negara ini diukur oleh angka-angka.

Ranking, nilai, sistem evaluasi, pada akhirnya membentuk persepsi masyarakat bahwa kepintaran memang diukur dari angka-angka. Diukur dari keberhasilan dalam ujian.

Di Indonesia ini, mau tahu kepintaran seseorang itu mudah. Lihat saja raportnya. Baguskah? Masuk lima besar kah? Ooh, pintarnya, tak pernah absen dari podium kelas. Tak pernah dapat rangking? Langganan angka merah? Ooh, bodohnya, tak pernah belajar kah? Mesti kerjanya bolos terus.

Persepsi ini menular. Diamini dan menjadi kesepakatan bersama. Menginfeksi pikiran para orang tua, guru,dan siswa. Melahirkan tuntutan ekstra pada siswa. Pada akhirnya kepintaran dan keberhasilan sekolah diukur dari satu aspek belaka.

 

Cuci Otak, Demi Anak

Meskipun telah banyak ahli yang menyerukan kemajemukan kecerdasan, nilai bukanlah ukuran, borok pendidikan di Indonesia, namun tetap menyisakan kekhawatiran. Pandangan-pandangan progresif ini seolah menjadi konsumsi kaum akademis semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun