Seorang kawan datang bertandang. Bercerita soal kekhatiran. Anaknya mulai berubah. Sering pergi bersama teman-teman sekolah. Khawatir ia buah hatinya akan terpengaruh efek negatif teman-temannya. Padahal di rumah sudah dibekali pendidikan agama, akhlak.
Melihat wajah dunia remaja sekarang, Kekhawatirannya membesar, meski sudah memberi bekal. Menjadi dilema. Dilarang berteman tak mungkin, dilepas bikin cemas.
Kebanyakan anak yang terlibat dengan hal-hal negatif adalah akibat dari ikut-ikutan teman. Terbawa arus. Kawan ajak kemari, ikut. Ajak ke sana, ayo. Bagai alang-alang di puncak bukit kata orang-orang tua dulu. Mudah terbawa angin.
Cobalah tengok remaja yang terjaring operasi narkoba. Alasan yang sering dikemukakan pastilah "ikut-ikutan teman" atau "coba-coba". Maka kemudian yang jadi kambing hitam adalah lingkungan pergaulan si anak.
Pada dunia orang dewasa tentu kita pernah melihat seseorang yang demikian pula. Orang yang sebenarnya baik, namun terjebak hanya karena ikut-ikutan.
Titik lemahnya bisa jadi sangat sederhana. Tak punya pendirian, tak mampu berkata tidak. Mudah sekali terpengaruh, tak dapat mempengaruhi.
Individualitas, Pembentuk Konsep Diri
Tulisan ustad Adriano Rusfi tentang mendidik ego dan sikap individualitas pada anak membuka cakrawala saya. Pada umumnya, harapan orangtua saat anaknya mulai sekolah adalah mampu berbaur, belajar bekerja sama, punya kemampuan sosiabilitas (kemampuan sosial).
Sesungguhnya, anak usia 2-7 tahun berada pada fase egosentris. Individualis. Itu sudah fitrah. Belum masanya menjadi makluk sosial. Maka hal itulah yang perlu dipelihara.
Anak akan belajar untuk membentuk sudut pandangnya sendiri, dan mempertahankannya. Melindungi apa yang menjadi hak dan prinsip yang diyakininya. Jika fitrahnya sudah begitu, maka kenapa harus dipaksakan untuk belajar bersosialisasi?
Menurut Rusfi, masa 2-7 tahun adalah periode play bagi anak. Bukan game. Anak sama-sama main, bukan bermain bersama. Sosiabilitas (kerja sama, kekompakan, berbagi, dan lain-lain) mulai diajarkan setelah usia 7 tahun. Saat ego dan individualitasnya telah terbentuk.
Anak yang dihargai individualitasnya akan tumbuh menjadi anak yang unik. Percaya diri dengan kemampuan dan kelebihannya. Meskipun berbeda dengan anak-anak lain. Tak takut meski tak serupa.
Pendidikan ego dan invidualitas menjadi bekal anak untuk bergaul, bersosialisasi kelak. Tak mudah terpengaruh, meski dilingkari lingkungan yang tak mendukung.
Membangun Individualitas Anak
Cita-cita para orangtua adalah anaknya cair secara sosial, namun tetap mampu mempertahankan prinsip dan teguh pendirian. Modalnya adalah individualitas yang kuat. Bagaimana membangun individualitas pada anak? Menurut Rusfi, ada 10 Â hal yang bisa dilakukan:
Pertama, memperlakukan tiap anak dengan spesial. Perlakukan anak dengan keunikannya masing-masing. Baik dalam soal panggilan, pakaian, perlakuan dan barang masing-masing. Dua anak lelaki, satu suka mobil, satu suka robot, turutilah. Keduanya adalah ciri masing-masing.
Kedua, hindari pendidikan yang menyeragamkan. Anak tertua bisa jadi sangat suka membaca. anak kedua lebih suka bermain lego. Tak usah dipaksa semua harus baca, semua harus main lego. Semua harus hafiz. Tiap anak unik. Punya minat, gaya belajar dan kecepatan belajar yang berbeda.
Ketiga, hindari perbandingan. "Ah, payah kamu. Si kakak tuh sudah bisa baca. Pinter". Sungguh, tak ada orang yang suka diperbandingkan. apalagi anak-anak. Perbandingan hanya akan menyakitkan hati. Membuat rendah diri, dan berujung pada benci.
Keempat, izinkan anak punya properti dan wilayah kekuasaan sendiri. Mulai usia 3 tahun, biasanya anak sudah paham urusan kepemilikan. Ada satu mainan yang sangat disayangi, tak boleh siapapun menyentuh, termasuk saudara. Hargailah.
Atau menentukan satu sudut rumah sebagai "istananya". Sudut lainnya adalah "dapur". Sisi lain rumah adalah "sekolah". Jangan diganggu. Ikutilah saja. Tak sulit
Keenam, berikan kasus kepada anak. Biarkan ia menyelesaikan dengan caranya sendiri. Anak yang dibiarkan memecahkan masalah, akan tumbuh kreatifitasnya.
Ketujuh, berikan alat-alat ekspresi diri anak. Biarkan dia memilih alat ekspresi diri yang tepat. Ada anak yang senang sekali mewarnai dan memajang hasilnya. Ada pula yang suka membantu ibu memasak. Tak ada yang salah, layani saja. Sediakan alat dan bahan yang mendukung.
Kedelapan, izikan anak berbeda pendapat dengan saudaranya dan orangtuanya. Biarkan dia punya pandangan sendiri, sejauh itu baik.
Kesembilan, berikan alternatif untuk setiap masalah, keinginan, kebutuhan, dan lain-lain. supaya ia bisa memilih sendiri mana yang pas baginya. Semisal membeli pakaian. Berikan ia kesempatan untuk menunjuk mana yang ia suka.
Kesepuluh, izinkan dan biarkan anak dengan sikap dan kesendirian dalam relitas sosialnya. Pelabelan mungkin akan melekat. Anak yang egois, individualis, tak mampu kerja sama. seolah-olah anak akan menjadi seperti itu seterusnya. Tugas kitalah untuk membesarkan hatinya. Membuatnya tetap bangga pada dirinya. Pada prinsipnya.
***
Pada dasarnya, manusia adalah individual-sosial. Untuk menjalankan peran makhluk sosial, perlu modal penguatan karakter diri yang terbungkus dalam individualistis.Â
Karakter yang kuat akan membentuk seseorang yang berego kuat, tak mudah dipengaruhi, malah mudah mempengaruhi orang lain.
Karakter ego dan individualitas anak yang kuat, menjadi tameng baginya untuk berani menolak, berani berkata tidak, dan punya sikap.Â
Kesemuanya menjadi persiapan menghadapi hidup. Berkembang dengan jati diri yang jelas. Bangga dengan kekhasannya masing-masing.
Anak yang terlatih mempertahankan apa yang menjadi miliknya, apa yang menjadi keyakinannya sejak kecil, akan mampu mempertahankan haknya pula kelak. Mempertahankan prinsip. Menjadi beringin. Tak goyang diterpa angin kencang.
Curup,
22.06.2020
Muksal Mina Putra
Sumber : Menjadi  Ayah Pendidik Peradaban terbitan Hijau Borneoku tahun 2018 karya Adriano Rusfi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H