I am not a teacher, but an awakener
Ini adalah satu satu quote dari penyair Amerika, Robert Frost.
Dikutip dari Wikipedia, Robert Frost (1874-1963) adalah satu-satunya penyair yang meraih Pulitzer Prize for Poetry sebanyak empat kali (1924, 1931, 1937 dan 1943). Selain itu, Frost juga menerima gelar kehormatan dari berbagai universitas besar seperti Princeton, Oxford, Cambridge dan Dartmouth.Â
Karya-karyanya mencakup Puisi, prosa, buku dan pidato. Namanya dibadikan menjadi salah satu nama gedung di Southern New Hampshire University di Manchester, New Hampshire, Robert Frost Middle School di Virginia, dan the Robert L. Frost School di Massachusetts.
Menarik untuk membahas tafsiran dari quote Frost ini. Frost menyebut bahwa ia bukanlah guru, namun seorang awakener. Apa itu?
Awakener, secara harfiah berasal dari kata awake, yang berarti bangun. Kalau kita artikan awakener dengan "tukang bangun", agak janggal sepertinya. Mungkin bolehlah kita maknai bersama dengan seseorang yang berperan untuk membangkitkan ataupun membangunkan sisi-sisi positif dalam diri orang lain.
Nah, biar enak, seterusnya kita tetap sebut saja dengan awakener lah ya, toh sama-sama paham maknanya ya. Hehehe.
Jujur saja, saya tidak tahu konteks Frost saat menuliskan quote tersebut. Namun bolehlah kita tafsirkan ke dalam bahasan tentang peran guru yang sebenarnya dalam pendidikan.
Anak Itu Unik!
Telah mafhum dalam masyarakat, bahkan terkadang di kalangan pendidik sendiri, bahwa apabila seorang anak datang ke sekolah, masuk ke kelas, maka berarti ia adalah sosok yang siap diajar.
Diajar kemudian dimaknai dengan memberikan informasi sebanyak-banyaknya, dengan tujuan agar seorang anak menjadi tahu dari sebelumnya tidak tahu. Singkatnya adalah transfer ilmu.
Semakin banyak ilmu yang dikuasai maka disimpulkan semakin banyak lah bekal si anak menghadapi masa depan. Yang terjadi kemudian adalah penjejalan-penjejalan semua pengetahuan. Memindahkan isi kepala guru ke dalam memori anak, tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu, benarkah anaknya butuh?
Maka begitulah konsep guru yang jamak dipahami. Sedangkan bila merujuk ke teori psikologi perkembangan, setiap anak punya kebutuhan belajar yang berbeda. Sebagaimana bakat dan kemampuan setiap anak pun berbeda-beda.
Kesemua konsep ini memiliki satu kesamaan, yakni pengakuan bahwa setiap anak adalah unik. Keunikan itulah yang harus dikembangkan dengan bimbingan pendidik agar setiap anak menjadi dirinya sendiri, dengan keunikan masing-masing.
Ketika guru memahami konsep tersebut, maka yang akan terjadi kemudian adalah guru menyadari perannya sebagai seorang awakener. Tugasnya lah untuk membangunkan potensi-potensi anak didiknya. Ibarat membangunkan raksasa yang sedang tidur dalam diri anak.
Keunikan yang bersemayam dalam diri masing-masing anak, tentu memerlukan pemantik yang berbeda-beda pula.Â
Albert Einstein pernah berkata "kalau kita menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon,maka seumur hidupnya ia akan merasa dirinya bodoh".
Seekor ikan punya kemampuan alami sebagai perenang tangguh. Monyet adalah pemanjat ulung. Macan adalah pemburu yang luar biasa. Bayangkan bila ketiga hewan itu disuruh belajar terbang!
Begitupun setiap anak dengan potensi luar biasanya. Anak yang cerdas kemampuan musikalnya tentu tak dapat dicap bodoh berdasarkan skill berbahasanya. Anak yang pintar menggambar tentu tak tepat bila disalahkan atas nilai matematikanya yang merah. Beda anak, beda bakat, beda pula cara membangkitkannya.
Awakener Adalah Fasilitator
Perubahan kurikulum, menuntut guru untuk beradaptasi dengan perubahan perannya. Harus menahan diri untuk tidak terjebak dengan pemahaman kecerdasan kognitif semata. Menata konsep agar tepat guna. Mengajar sesuai kebutuhan dan keunikan anak.
Peran guru sebagai seorang awakener, bolehlah kita terjemahkan menjadi peran fasilitator, istilah yang popular apabila kita membahas pendidikan ala konstruktivisme.
Pembelajaran konstruktivisme bermakna mendorong sanak untuk menemukan sendiri pemaknaanya dalam belajar (Slavin, 2007). Konsep ini diterjemahkan menjadi pembelajaran yang bersifat student centered (berpusat kepada siswa). Lepas dari pemahaman lama pembelajaran teacher centered (berpusat kepada guru).
Dengan menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran, maka proses adaptasi dimulai dari guru terhadap siswa. Guru lah yang mendesain pembelajaran, mulai dari desain tujuan hingga evaluasi, sesuai dengan kebutuhan dan keunikan siswa. Bukan sebaliknya, seperti selama ini yang terjadi
Tentu akan sangat sulit bila beban penyesuaian perubahan konsep ini semata diemban oleh guru. Butuh dukungan pula dari unsur-unsur yang lain, semisal kurikulum, sarana, tujuan, dan sebagainya.
Namun setidaknya guru dapat mengubah sendiri persepektifnya, dari seorang pemberi ilmu, menjadi seorang awakener. Seseorang yang membangkitkan potensi anak didiknya. Memandu hingga anak didik berkembang maksimal, menjadi diri sendiri sesuai bakat masing-masing.
Senada dengan Frost, William Butler Yeats  mengatakan, "pendidikan bukan mengisi ember, tetapi menyalakan api".
Anak didik sejatinya bukanlah ember kosong yang masuk ke kelas untuk kemudian minta diisi hingga penuh. Namun bagai setumpuk jerami yang perlu dipantik, agar menjadi api yang berkobar-kobar.
Jadilah awakener. Jadilah pemantik.
Jangan jadi Guru!
Curup
10.06.2020
Muksal Mina Putra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H