Maka begitulah konsep guru yang jamak dipahami. Sedangkan bila merujuk ke teori psikologi perkembangan, setiap anak punya kebutuhan belajar yang berbeda. Sebagaimana bakat dan kemampuan setiap anak pun berbeda-beda.
Kesemua konsep ini memiliki satu kesamaan, yakni pengakuan bahwa setiap anak adalah unik. Keunikan itulah yang harus dikembangkan dengan bimbingan pendidik agar setiap anak menjadi dirinya sendiri, dengan keunikan masing-masing.
Ketika guru memahami konsep tersebut, maka yang akan terjadi kemudian adalah guru menyadari perannya sebagai seorang awakener. Tugasnya lah untuk membangunkan potensi-potensi anak didiknya. Ibarat membangunkan raksasa yang sedang tidur dalam diri anak.
Keunikan yang bersemayam dalam diri masing-masing anak, tentu memerlukan pemantik yang berbeda-beda pula.Â
Albert Einstein pernah berkata "kalau kita menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon,maka seumur hidupnya ia akan merasa dirinya bodoh".
Seekor ikan punya kemampuan alami sebagai perenang tangguh. Monyet adalah pemanjat ulung. Macan adalah pemburu yang luar biasa. Bayangkan bila ketiga hewan itu disuruh belajar terbang!
Begitupun setiap anak dengan potensi luar biasanya. Anak yang cerdas kemampuan musikalnya tentu tak dapat dicap bodoh berdasarkan skill berbahasanya. Anak yang pintar menggambar tentu tak tepat bila disalahkan atas nilai matematikanya yang merah. Beda anak, beda bakat, beda pula cara membangkitkannya.
Awakener Adalah Fasilitator
Perubahan kurikulum, menuntut guru untuk beradaptasi dengan perubahan perannya. Harus menahan diri untuk tidak terjebak dengan pemahaman kecerdasan kognitif semata. Menata konsep agar tepat guna. Mengajar sesuai kebutuhan dan keunikan anak.
Peran guru sebagai seorang awakener, bolehlah kita terjemahkan menjadi peran fasilitator, istilah yang popular apabila kita membahas pendidikan ala konstruktivisme.
Pembelajaran konstruktivisme bermakna mendorong sanak untuk menemukan sendiri pemaknaanya dalam belajar (Slavin, 2007). Konsep ini diterjemahkan menjadi pembelajaran yang bersifat student centered (berpusat kepada siswa). Lepas dari pemahaman lama pembelajaran teacher centered (berpusat kepada guru).
Dengan menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran, maka proses adaptasi dimulai dari guru terhadap siswa. Guru lah yang mendesain pembelajaran, mulai dari desain tujuan hingga evaluasi, sesuai dengan kebutuhan dan keunikan siswa. Bukan sebaliknya, seperti selama ini yang terjadi