Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dear Orang Tua, Berhentilah Menjejalkan Syariat pada Anakmu (Terlalu Dini)

4 Juni 2020   16:16 Diperbarui: 4 Juni 2020   16:20 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.pinterest.ru/pin/536350636864433702/

Tulisan ini lahir dari hasil membaca buku 'Fitrah Based Education: Mengembalikan Pendidkan Sejati Selaras Fitrah, Misi dan Tujuan Hidup' terbitan Yayasan Cahaya Timur tahun 2017 karya Harry Santosa dan refleksi dari pengalaman keseharian.

***

"Sudah hafal belum? Masa juz amma tidak tembus-tembus. Bulan depan sudah mau TK loh"

 "Tadi waktu shalat kenapa malah nyanyi-nyanyi? Kalau shalat mesti tenang!"

"Hayo ngaji! Malu donk sudah mau masuk TK masih belum bisa mengaji. Gimana mau jadi hafiz. Kan mau buatkan Ibu bangunan di surga"

Familiar dengan kalimat-kalimat diatas? Setiap kita pasti pernah mendengar atau justru mengeluarkan kalimat-kalimat tersebut. Semangat beragama dalam diri orang tua sedang deras-derasnya masa ini. Sajian televisi tentang kompetisi  hafiz al-Qur'an cilik, menyemburkan semangat. Muncul keinginan kuat, cita-cita agar anak kita pun bisa seperti itu. PAUD-PAUD Islam sampai harus menolak pendaftar karena tingginya antusiasme orang tua. Ah, siapa pula yang tak bangga kala anaknya usia yang belum genap 7 tahun fasih melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an, atau salat dengan tertib, ataupun genap berpuasa ramadan satu bulan penuh. Siapapun pasti menginginkan itu.

Namun, terkadang semangat yang menggebu-gebu tersebut perlahan menjadi jebakan batman dalam pola pengasuhan anak. Orang tua ingin anak secepatnya hafal Qur'an. Secepatnya salat sempurna. Dengan kata lain, secepatnya mengamalkan syariat dengan sempurna. Sedari dini.

Mulailah tekanan dipindahkan ke anak. Harus hafal Quran sejak kecil, harus shalat dengan tertib, dsb. Semua dijejalkan sedari kecil, agar anak lebih dini terlatih menjadi sosok beriman.

Apa yang salah?

Mari kita refleksi sejenak.

Pernahkah anak kita yang akan tunduk patuh di rumah ketika disuruh shalat, namun lalai ketika sudah di luar pengawasan? Ketika ditanya, dia akan bilang "sudah"

Atau pernah dapat cerita bahwa ada konsumen narkoba, pelaku kejahatan, yang justru berasal dari keluarga yang notabene dikenal sebagai keluarga saleh.

Saya pernah ngobrol dengan seorang tenaga pengajar di sekolah Islam yang terkenal di daerah kami.

"Anak-anak disini kalau soal otaknya luar biasa, pak. Hafalannya apalagi. Tapi adabnya bikin saya miris"

Garis merahnya adalah, ada yang tidak pas dalam pengajaran agama pada anak-anak ini. Bukankah seharusnya beragama menjadikan seseorang lebih baik? Mungkin kita terlalu terlalu fokus dan terlalu dini menjejalkan syariat. Sehingga anak kemudian akan tiba pada tahap "muak" dan akhirnya malah lari dari syariat. Entah secara terang-terangan ataupun diam-diam.

Bukankah Allah sudah menyuruh mengajarkan shalat pada usia 7 tahun? Maka patuhilah. Ingat, 7 tahun. Di bawah usia itu, yang diajarkan bukanlah syariat, tapi cinta pada syariat itu sendiri. Dalam pendidikan anak, tidak berlaku konsep "lebih cepat lebih baik". Yang ada adalah "berkembang sesuai fasenya"

Imaji Positif

Dalam kajian Fitrah Based Education, keimanan itu adalah fitrah. Sudah terinstal dalam diri tiap manusia, sejak dari dalam kandungan (Qur'an surat al-A'raf ayat 72).

Ketika seorang manusia lahir, maka tugas orang tuanya lah untuk mengembangkan fitrah tersebut sehingga akan mengkontruksi akhlakul karimah (perbuatan yang mulia) atau karakter moral yang akan menjadi pegangan dalam hidupnya.

Fase usia emas (0-7 tahun) adalah masa esensial untuk mengembangkan fitrah keimanan anak. Tentu bukan dengan doktrinasi ataupun penyempalan materi-materi kognitif, namun dengan membangun imaji positif untuk menanamkan kecintaan terhadap Allah, Rasulullah, dan Islam.

Bangunlah gambaran yang positif tentang agama Islam ini sedari dini, sehingga yang terbangun kemudian adalah cinta pada syariat. Bukan muak terhadap syariat.

Ada beberapa contoh kegiatan yang bisa dilakukan, misalnya :

Ketika anak ikut salat, usahlah gusar tatkala salatnya tidak tertib. Masih disertai lari-lari, tertawa atau bernyanyi. Biarkan! Mereka sedang menanam kesan dalam kesadarannya bahwa salat itu menyenangkan. Begitu kan yang diajarkan Rasulullah tatkala cucunya malah naik kuda-kuda disaat beliau sujud. Tertib salat itu ada saatnya untuk diajarkan (7 tahun). Apalah artinya salat yang sesuai syariat namun tidak cinta salat?

Berikan kesan bahwa Allah adalah Maha Baik, bukan tukang hukum. Ceritakanlah kisah-kisah tentang indahnya syurga, kontekskan setiap peristiwa dengan sifat Allah (pencipta, pemberi rezeki, pengabul doa, pelindung, dan seterusnya).  Hindarilah terlalu dini menceritakan tentang kengerian perang, neraka, dajjal, dan seterusnya. Untuk apa? Ciptakanlah kesan yang akan mendorong anak mengenal Tuhannya dalam frame positif, agar ia cinta, agar ia rindu.

Saya pernah ditanya anak "Ayah, kenapa kita harus salat?"

Hampir saya jawab, "Kalau tidak salat, nanti masuk neraka!"

Pada akhirnya, saya jawab

"Kita salat untuk berterima kasih sama Allah. Kan Allah sudah kasih banyak. Sudah kasih sehat, kasih adek-adek"

Jawaban itu disambut dengan anggukan dan mata berbinar. Bayangkan kalau saya jawab neraka. Mesti disambut dengan mata ketakutan

Jadilah teladan dalam menghadirkan imaji positif. Hadirkan wajah berseri sewaktu memberi sedekah, mengaji, ke masjid ataupun ketika azan berkumandang. Biar mereka yakin, bahwa beragama itu menyenangkan.

Ayah, Ibu, berhentilah mengkarbit anak-anak kita, terutama dalam hal beragama. Bagaimana sikap orang tua, maka begitulah anak akan mengkonstruksi persepsi dan sikapnya terhadap syariat. Tanamkan imaji positif, bahwa beragama itu mudah, menyenangkan, ceria. Bukan penuh paksaan, airmata, hukuman, dan citra negatif lainnya.

Akan ada masanya syariat diajarkan. Begitu cinta telah tumbuh, maka tentu akan mudah untuk mengajarkan tuntunan ibadah. 

Bila sudah dewasa, ia sendiri yang akan menjaga keimanannya. 

Dengan kesadarannya.

Muksal Mina Putra

Curup

04.06.2020

Referensi : 

 'Fitrah Based Education: Mengembalikan Pendidkan Sejati Selaras Fitrah, Misi dan Tujuan Hidup' terbitan Yayasan Cahaya Timur tahun 2017 karya Harry Santosa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun