Ibadah haji kehilangan sebuah makna spiritual yang sesungguhnya. Ibadah haji lebih cenderung bersifat simbolik atau ceremonial. Hanya mengejar nilai status atau gelar haji semata.
Seyogyanya, sangat diharapkan dapat menciptakan harmoni di masyarakat menuju lebih baik. Yakni menjadi human being dan moral force, pasca nama haji telah disandang.
Kisah sufistik dari Imam Al-Ghazali ini, memberikan tamparan keras bagi kita umat muslim tentunya, saat ini.
Dimana suara hati mulai pudar dari rasa simpati dan empati. Dan berlomba-lomba tuk mengejar sesuatu demi motif tertentu, Prestise and Privilese.
Kurang peka kepada orang lain dan cenderung memikirkan diri sendiri. Hilangnya rasa peduli jika menyaksikan keadaan sosial yang memprihatinkan.
Kelaparan dan kemiskinan, yang semakin bertambah. Yang membutuhkan uluran tangan. Gerakan pemulihan bersama.
Seandainya, jika ratusan atau ribuan jemaah haji kita berani melakukan seperti dalam kisah sufistik dari Imam Al-Ghazali.
Mungkin, betapa besar kontribusi yang dapat diberikan untuk kondisi yang serba tak menentu saat ini, dampak wabah virus corona, kenaikan barang pokok dan geopolitik dunia yang terganggu.
Dan menjadi sebuah pemahaman, bahwa hakikat kemabruran haji seseorang hanya Allah saja yang lebih mengetahuinya. Meskipun telah melaksanakan haji berulang-ulang kali.
Hal ini menjadi cermin, kemabruran haji bisa saja terlihat dari tindak tanduknya. Bukan. Nah, jangan sampai gelar haji tidak sejalan dengan perilaku hidup sehari-hari, jauh api dari panggang.
Apatah karena gelar haji, didapati dari hasil uang yabg haram, hanya demi pencitraan, atau hanya untuk dipandang  prestisius dimata orang, ya entah lah?