Disebabkan ancaman dari budaya global lebih menarik daripada budaya sendiri. Paradigma budaya lokal yang kolot, kuni, njelimet dan ketinggalan zaman sehingga mempengaruhi antusiasme tuk mempelajari budaya sendiri.
Pada fase memperhatinkan ini, rendahnya partisipan 'animo' untuk mempelajari budaya sendiri. Dikhawatirkan kurang baik akan keberlangsungan budaya lokal itu sendiri.
Salah satu contoh, penulis simak di daerah tempat tinggal penulis sendiri, kecendrungan anak muda generasi X dari suku asli Rejang seakan malu berbahasa Rejang, melupakan bahasa ibunya dalam interaksi sesuku dilingkungan non formal.
Serta idak mengetahui seluk beluk adat, tradisi dan budaya sendiri, dominasi para tetua yang itu-itu saja dalam setiap acara berbau budaya.Â
Berangkat dari fenomena lapangan inilah diharapkan menjadi pekerjaan rumah kedepan, antara masyarakat dan pemerintah daerah' stake holder'Â terkait untuk bahu membahu menjaga kelestarian budaya lokal dalam agenda kerja.
Bertindal demi keberlangsungan kearifan lokal setiap daerah. Jika kekhawatiran ini tidak segera dieksekusi hanya bersifat ceremonial acara resmi pemerintahan, maka besar kemungkinan suatu saat budaya akan hilang ditelan perut bumi dimata generasi.
Local wisdom beserta pernak pernik yang ada mungkin suatu saat nanti akan luntur dayanya. Bahkan kekhawtiran ini sudah terasa menuju arah yang tidak dinginkan.
Akankah menjadi puing-puing sejarah yang terkubur dalam cerita saat meninakbobok anak nantinya, bila budaya sendiri tidak diturunkan kegenerasi, lalu siapa lagi yang memikirkan dan melanjutkan budaya itu? Entahlah.
Hari Teater Sedunia
Momentum yang tepat setiap daerah dalam memperkenalkan budaya lokal pada ajang nasional, kearifan lokal untuk lebih diketahui daerah lain. Disamping pemantik bagi generasi belajar bangga akan budaya sendiri
Membudayakan budaya agar tak lekang dimakan zaman. Local wisdom  menjadi ciri khas disetiap daerah akan kekayaan dari keanekaragaman nusantara.Â