Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pemilu Kemarin, Doa Pemilu yang Akan Datang, dan Sebuah Keberuntungan

25 Maret 2022   16:08 Diperbarui: 27 Maret 2022   21:00 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mural yang berisi pesan tentang pemilu. (ANTARA FOTO/FAUZAN via kompas.com) 

Belajar dari pelaksanaan pemilu tahun 2019, pemilu 2024 merupakan tonggak perubahan. Harapan lebih baik lagi, mulai dari tahapan pendataan, pelaksanaan hari H sampai dengan proses rekapitulasi akhir.

Diketahui pemilu makan korban tidak terulang lagi dari panitia sebagai pihak penyelenggara, PPS dan KKPS. Njelimetnya mekanisme tata laksana pemilu.

Solusi untuk menyerdehanakan pemilu 2024 mendatang? Lebih baik lagi tentunya.

Meski riuhnya korban dipemilu 2019, banyak rupa anasir yang berkembang kala itu. Yang coba mengkaitkan insiden mengapa bisa terjadi lho. Pemilu berjatuhan.

Karena kelelahan sampai dengan menghubungkan seebagai pengalihan isu dari panasnya situasi setelah pemilu, seputar hasil pilpres.

Maka dari itu, diharapkan pemilu ditahun 2024 tidak lagi memakan korban lagi dan elit politik berjiwa negarawan, bukan.

Dan yang tidak kalah penting dari yang lebih penting, semoga pemilu mendatang terasa lebih adem apapun itu hasilnya, siapapun yang terpilih mesti dihormati sebagai pemimpin yang sah.

Bagi pemilih pada rukun damai wae, meski berbeda pilihan. Menentukan atau menetapkan pilihan sesuai akal sehat, kepala dingin dan hati yang lapang.

Lalu buat parpol dan politikus yang berkecimpung, mari berangkulan untuk menciptakan pemilu yang lebih beradab.

Berhenti dalam bermain narasi/ujaran kebencian pada kanal sensitiv yakni unsur SARA dan politik identitas.

Lalu selektif menetukan kader yang bakal maju dengan menunjukan orang-orang yang benar-benar pada layak atas nama parpol berkelas.

Bukan hanya atas dasar menang kalah sebagai titik akhir tujuan, tapi niat untuk perubahan yang selalu digaungkan setiap pemilu.

Jangan sampai parpol diasumsikan sebagai salah satu indikator dari centang prenang negara selama ini. Dari elit parpol yang syarat akan kepentingan pribadi dan kelompok semata.

Yang rentan menjalankan politik transaksional, menghalalkan segala cara apapun. Selain masih belum mleknya pemilih tentang apa itu dunia politik?

Karena kesalahan dalam menempatkan atau mencalonkan keterwakilan parpol dari orang-orang yang tidak diharapkan untuk kemajuan merah putih. 

Hanya demi lolos kebijakan ambang batas semata. Untuk menduduki kursi dalam lingkaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif belaka. Rakyat pun dilupakan dari janji-janji kampanye mereka.

Nah kembali pada wejangan awal, judul yang penilis aggit pada artikel kali menurut pandangan subyektif penulis. 

Penyerdehanaan pemilu bukan berati menghilangkan sebuah tahapan, melangkahi proses yang ada tapi menyerdehanakan pada tataran mudah dipahami,  anti ribet iya kan.

Memudahkan panitia dari tetek bengek yang memusingkan kepala, harus bergadang semalam suntuk dari banyaknya kertas suara yang bertumpuk dan berserakan.

Berdasarkan kejadian setiap pemilu yang paling memusingkan kepala adalah saat mulai perhitungan.

Khususnya pemilihan calon legislatif yang lembaran kertasnya selebar apa? Membuat pusing kepala pemilih yang pemula dan orangtua yang indera penglihatan pada tidak baik lagi.

Dan panitia sebagai pihak penyelenggara lebih simple untuk merekapitulasi, apakah sistem vote memanfaatkan/menggunakan era digital. 

Atau mungkin dengan melaksanakan pemilu secara berjenjang, yakni pileg dilanjutkan pilkada lalu pilpres. Pada tahun yang sama tapi bulan yang berbeda.

Mengapa?

Hal ini menarik berkaca pada pemilu sebelumnya. Ketika poster, baliho, dan berbagai macam atribut tahun politik ada yang mendapatkan keutungan jika ada wajah figur tertentu dalam mendulang suara.

Salah satunya saat pemilu, wajah presiden, kepala daerah dan calon wakil rakyat dalam satu kemasan.

Sehingga menjual nama sosok tertentu media persuasif menarik pemilih.  Sosok Prabowo dan Jokowi betapa menguntungkan figur-figur tertentu saat gambarnya bergandeng nama tersebut.

Alhasil suara parlemen atau kepala derah bisa terdongkrak bukan. Berbeda kali lalau pilpres terakhir diadakan. Alternatif bagi pengambil keuntungan ini.

Hal ini terjadi pada bentuk pemilih kita yang terbelah yang cenderung fanatis buta akan pada sosok figur.

Selain itu penyerdehanaan pemilu tahun kemarin dari kertas suara yang membuat pusing kepala bagi pemilih anti ribet tentunya ada pihak yang mendapatkan keberuntungan akan salah pilih.

Yups, mari ciptakan pemilu lebih lagi. Minimal tidak memperkeruh keadaan disetiap pemilu yang lalu-lalu.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun