Dan panitia sebagai pihak penyelenggara lebih simple untuk merekapitulasi, apakah sistem vote memanfaatkan/menggunakan era digital.Â
Atau mungkin dengan melaksanakan pemilu secara berjenjang, yakni pileg dilanjutkan pilkada lalu pilpres. Pada tahun yang sama tapi bulan yang berbeda.
Mengapa?
Hal ini menarik berkaca pada pemilu sebelumnya. Ketika poster, baliho, dan berbagai macam atribut tahun politik ada yang mendapatkan keutungan jika ada wajah figur tertentu dalam mendulang suara.
Salah satunya saat pemilu, wajah presiden, kepala daerah dan calon wakil rakyat dalam satu kemasan.
Sehingga menjual nama sosok tertentu media persuasif menarik pemilih. Â Sosok Prabowo dan Jokowi betapa menguntungkan figur-figur tertentu saat gambarnya bergandeng nama tersebut.
Alhasil suara parlemen atau kepala derah bisa terdongkrak bukan. Berbeda kali lalau pilpres terakhir diadakan. Alternatif bagi pengambil keuntungan ini.
Hal ini terjadi pada bentuk pemilih kita yang terbelah yang cenderung fanatis buta akan pada sosok figur.
Selain itu penyerdehanaan pemilu tahun kemarin dari kertas suara yang membuat pusing kepala bagi pemilih anti ribet tentunya ada pihak yang mendapatkan keberuntungan akan salah pilih.
Yups, mari ciptakan pemilu lebih lagi. Minimal tidak memperkeruh keadaan disetiap pemilu yang lalu-lalu.
Salam