Berkembangnya media informasi dan komunikasi untuk sekarang, ditandai dengan semakin tingginya pengguna media sosial dan berbagai fitur aplikasi mensupport arus berita semakin mudah dan cepat diakses oleh publik.
Kemudahan mendapati informasi berkaitan isu-isu sentral dan peristiwa-peristiwa penting yang sedang tranding topic, viral terjadi. Mudah didapat dari bermacam sumber dari para blogger dan website yang berkembang.
Akurasi berita di era digital, kecepatan share, posting, dan update berita, mampu langsung menyasar kemasayarakat umum, menjadi bahan konsumsi publik.
Siapa pun sepertinya mudah melakukannya, meski sekedar update status biasa yang dikemas serupa berita, hasil dari reportase. Meski sang pembuat bukan seorang berprofesi sebagai jurnalistik.
Terkadang kebenarannya memang berangkat dari sebuah kejadian nyata. Juga terkadang kebenarannya dipertanyakan. pemberitaan yang terjadi karena peran serta masyarakat berparitisipasi menyemarakan berita-berita yang berkembang sekarang, versi mereka.
Kebebasan pers saat ini, yakni kebebasan berekspresi setelah tumbang rezim orde baru, kebebasan bersuara baik lisan dan tertulis menemukan tidak kesan, angin segar sendiri, setelah sekian lama dibungkam dalam menyalurkan aspirasi.
Fenomena ini secara tidak langsung berkorelasi pada kabar berita yang beredar diranah publik untuk sekarang.
Karena baik insan pers atau masyarakat biasa, seakan bebas beraspirasi untuk didengar dan diketahui oleh khalayak umum. Walau ditemukan diluar batas sewajarnya, etika.
Khususnya maraknya berita-berita yang tidak mengandung fakta, informasi berfaedah. Sumbu, ikwal permasalahan baru.
Dengan semakin banyak seliweran informasi yang tidak bertanggung jawab berdampak luas dalam mempengaruhi tatanan hidup masyarakat, karena hoaks.
Hal ini bagi segelintir orang, cerdikmemanfaatkan perkembangan ini untuk memperoleh keuntungan sendiri, tujuan/motif, kepentingan atau kepentingan terselubung suatu golongan.
Bermain dalam hal dunia berita, seputar isu yang bersifat sensitif, dikemas apik sing penting berdampak baik bagi mereka.
Dan didukung masih rendahnya daya filter masyarakat kita yang mudah sekali percaya akan hal tertentu secara membabi buta, tanpa melihat, membaca, dan memahami secara utuh isi dari sumber informasi, siapakah sumber tersebut?
Kembali topik pilihan aggitan Kompasiana, Hari Pers Nasional (HPN) kemarin. Tema menarik untuk dikupas atau dibahas dari berbagai sudut pandang, melihat arus pers nasional saat ini. Khususnya kebenaran suatu berita.
Mempertanyakan Eksistensi Wartawan Media Online dan Media Lokal?
Seperti diketahui kita, arus informasi dan komunikasi berkembang sekarang. Serta teknologi yang menyertainya, maka perkembangan dunia berita juga mengalami perubahan, pada sisi nilai kepercayaan kepada integritas pembuat berita.
Jika dulu, berita hanya didominasi media nasional, media cetak dan TV nasional yang resmi. Maka sekarang publik disuguhkan dengan bermacam sumber informasi dari berbagai chanel dan akun media sosial dan online.
Disetiap daerah dijumpai beragam media lokal. Baik dikelolah secara pribadi atau kelompok, bahkan mampu menarik publik menyimak tak kalah jauh menyaingi media nasional yang terkenal.
Media online atau media lokal, keniscayaan zaman sekarang. Terlepas apakah isi berita terpercaya, sumber informasi yang dipublis akurat atau tidak. Sesuai dengan standar/kriteria berita, kode etik journalistik, entahlah.
Disamping dengan semakin banyak bermunculan media online di daerah-daerah. Khususnya tempat penulis, wartawan diragukan dalam hal legalitas, termasuk dari anggota PWI atau tidak. Wartawan resmi atau tidak.
Pernahkah mengenyam/mengikuti pendidikan atau pelatihan jurnalistik, pengalaman bekerja pada sebuah media resmi, meragukan dan mesti dipertanyakan. Apalagi isi kontens berita. Dan izin resmi mereka.
Hanya asumsi penulis keberadaan ini, buruknya dapat memberikan dampak lain, karena informasi/berita sumber pemicu permasalahan yang serius, tidak bisa dianggap sepele.
Nah, istilah wartawan gadungan menjadi hantu yang menakutkan bagi segelintir loh. Yang kadang memeras berbagai instansi, desa misalnya. Yang bermain seputar permasalahan anggaran dana desa, atau nota kerjasama yang ditawarkan.
Bahkan ranah privasi seseorang akan mereka anggkat menjadi sebuah berita. Kalau tidak memenuhi keinginan yang mereka tawarkan. Menekan, gitu.
Disamping persoalan itu, tingkat plagiasi antar media online semakin tidak sehat, asal comot, tanpa izin kepada sang pembuat karya. Cacat secara etika toh. Yo, monggo pihak pemerintah juga dapat bertindak.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI