Momentum sumpah pemuda yang jatuh pada setiap tanggal 28 Oktober diperingati secara nasional dalam setahun sekali, pada dasarnya kembali pada hakikat dan tujuan kongres pemuda kala itu.Â
Sesungguhnya dengan persatuanlah dapat mengantarkan bangsa ini bisa merdeka lepas dari tangan para penjajah.
Pergerakan selama ini dilakukan secara sendiri-sendiri, egosentris dan kepentingan atas nama kelompok, suku, dan teritorial nyatanya tidak berhasil mewujudkan tujuan, lepas dari belenggu cengkram kolonial.Â
Kebalikannya, justru menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk melumpukan pergerakan rakyat. Menjalan trik devide at impera, bahasa politik Syafi'i Maarif 'politik bela bambu, dengan mengadu domba sesama anak bangsa.
Ingat istilah kata londo ireng (pribumi kelondo-londoan)Â yang loyal pada pihak kolonial sebagai abdi penjajah dalam menekan orang-orangnya sendiri. Orang yang diistimewakan oleh penjajah sebagai kepanjangan tangan penguasa (penjajah).
Pengkotakan yang terjadi menciptakan jurang pemisah yakni pertentangan kelas dalam bahasa sosiologi strata sosial. Pembagian golongan, golongan kulit putih, timur asing, dan pribumi disertai keistimewaannya disertai diskriminasi dan pendiskreditan masyarakat.
Kemudian hari menjadi 'momok' bercitra miring dan berakar, pemahaman bersifat 'laten'Â berbahaya. Buah dari diskriminasi sejarah. Hingga saat ini masih terpendam, tersimpan dendam yang masih kukuh sebagai luka lama.
Sebagai contoh ketidaksukaan dan penolakan pada etnis tertentu bukti nyata bahwa kita terjebak pada permainan sejarah, demokrasi yang didengungkan belum bisa dikatakan perbaikan jika para politikus tetap bermain dalam kanal perbedaan, pemgkotakan sebagai nilai jual.
Ikhwal sumpah pemuda setidaknya merupakan gerakan kesadaran bersama yang sebagian besar dipelopori pemuda berintelektual yang nasionalis, berangkulan unuk mencapai mimpi bersama dengan idealis tanah air-lah diatas segalanya.