Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Stigma Lagu Genjer-genjer, Getah Politik Masa Lalu

7 September 2021   19:44 Diperbarui: 7 September 2021   19:51 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrated by: news.detik.com

Tujuh tahun yang lalu, saat masih duduk dan sibuk dari tugas kuliah semester atas, menunggu pengumuman jadwal ujian tugas akhir yakni skripsi dengan Best Friend, konco-konco mahasiswa tak kunjung ingin tamat hehe...

Waktu itulah ia mengenalkan lagu yang sangat asing yang tak pernah terdengar selama ini ditelinga. Di sekretariat organisasi tempat berkumpul anak-anak mahasiswa pecinta alam. Ia memperkenalkan lagu ini kepada saya.

Nah, karena tak puas dan penasaran mendengar dari suara HPnya. Akhirnya, di warnet dan 'searching' membuka Youtube dan Mba google tentang lagu genjer-genjer, lagu yang dijadikan tunggangan politik masa silam.

Katanya "nih ada lagu bagus untuk didengar, tapi dilarang dinyanyikan dan diputar ke publik semasa pemerintahan Presiden Soeharto, saat berkuasanya orde baru."

"Judulnya Genjer-genjer dalam bahasa Jawa khususnya dari Banyuwangi, lagu propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lalu."

Lagu Genjer--genjer karya seniman asal Banyuwangi Muhammad Arief pada tahun 1942. Dan dipopulerkan oleh Lilis Suryani dan Bing Slamet. 

Lagu dimasa pendudukan tentara Jepang. Menceritakan keadaan  kemiskinan dan kelaparan mengisyaratkan kesusahan dan perjuangan rakyat tertindas.

Lirik Genjer--genjer 
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler,
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler,
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer,
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer,
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih,
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih.

Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar,
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar,
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar,
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar,
Emake jebeng padha tuku nggawa welasah,
Genjer-genjer saiki wis arep diolah.

Genjer-genjer mlebu kendhil wédang gemulak,
Genjer-genjerr mlebu kendhil wedang gemulak,
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak,
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak,
Sega sak piring sambel jeruk ring pelanca,
Genjer-genjer dipangan musuhe sega.

Terjemahan Bahasa Indonesia
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Ibu si bocah datang mencabuti genjer
Ibu si bocah datang mencabuti genjer
Dapat sebakul dia berpaling begitu saja
tanpa melihat
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang

Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa wadah-anyaman-bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak

Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Genjer-genjer dimakan bersama nasi

Latar belakang lagu ini diciptakan dari gambaran keadaan masyarakat desa di Banyuwangi yang miris. Penderitaan kala itu menjadikan tumbuhan gulma dipersawahan dijadikan makanan, untuk penahan dari rasa lapar. 

Kepopuleran lagu menginisiasikan media politik dari partai politik berhaluan kiri PKI ditahun 1959--1966 dimasa demokrasi terpimpin. Lagu propaganda Partai Komunis Indonesia. Hingga diasosiasikan sebagai lagu miliknya PKI. Untuk meraih simpati rakyat.

Melansir dari berbagai sumber artikel. Tidak terlepas dari kaitan Muhammad Arief sang pencipta lagu juga sebagai anggota Lekra onderbouw sayap politik PKI dibidang lembaga kebudayaan rakyat. 

Persitiwa G30/S PKI dalam Film penghianatan PKI. Dimana adegan ada senandung lagu genjer--genjer dinyanyikan para anggota gerwani (gerakan wanita Indonesia) di lobang Buaya saat menyilet dan menyiksa para jenderal, pahlawan revolusi.

Pasca tumbangnya orde lama, penumpasan gerakan PKI 1965. Dengan naiknya Soeharto menjadi presiden kedua dikenal istilah orde baru. Semua yang berbau komunis dan PKI dihapus bahkan dilarang pemerintah Orba. 

Perlakuan pun sama pada lagu genjer-genjer ini. Dilarang untuk dinyanyikan dan didengar oleh publik. Lagu yang identik dengan pergerakan Parta Komunis Indonesia, dibekukan semasa orba berkuasa.

Mungkin benar pada awalnya adalah Propaganda PKI bertujuan. Namun selanjutnya menjadi propaganda Orba untuk menjudge para simpatisan PKI. Dan mempertahan eksistensi politiknya dengan membangun citra anti komunis dimasyarakat.

Membangun stigma di masyarakat atas lagu terlarang keberhasilan membangun opini publik. PKI mesti dihancurkan dan antipancasila.

Jika melirik akan terjemahan akan lagu ini serta latar belakang munculnya inisiasi dari pencipta. Sangat jelas terkesan makna penderitaan, berjuang atas nama kemanusiaan. Jauh dari unsur politik kekuasaan. Nah, kejelian PKI-lah membuat lagu-lagu dimanfaatkan bukan.

Ya, bisa dianggap lagu genjer-genjer adalah korban politik. Imbas dari getahnya permainan politik masa lalu. Pengekangan karya seni dari kebebasan ekpresi yang ditungangi politisi dan penguasa. 

Lambat laun terkuak seiring perkembangan zaman, pasca reformasi 1998 tumbangnya orde baru. Maka lagu genjer-genjer bisa terdengar kembali, bahkan yang sama sekali belum tahu. Pada akhirnya dapat mendengar di Youtube, termasuk saya.

Telah banyak contoh lain dari kisah para seniman, budayawan, dan sastrawan pernah mengalami kondisi politik saat itu. Baik semasa orla ataupun orba mengalami intimidasi dari penguasa. 

Buya Hamka hingga Pramoedya Ananta Toer kisah nyata pahitnya jika kontra pada penguasa, contoh ketika kebebasan ekspresi dizolimi pemerintah. Karya dan kritik mereka dianggap berbahaya, kan.

Terlepas benar atau salah tentang kejadian masa lalu. Namun fakta-fakta seputar indormasi dapat dibaca diberbagai media yang mencoba mengulas kembali peristiwa sejarah dan analis para sejahrawan membedah kebenaran peristiwa itu.

Lalu Bagaimana dengan Sekarang?

Tidak jauh perbedaan apabila dihubungkan dalam politik, meskipun kebebasan ekpresi lebih baik dari sejarah masa lalu. Yakni telah banyak para seniman, budayawan ataupun sastrawan bermain politik untuk sekarang. 

Berpolitik dalam karya pesanan dari para dalang. Kalau tak percaya kita nantikan, dipilpres mendatang. Keberpihakan mereka, entahlah. Sing penting kebebasan ekspresi tidak dikekang, ya kan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun