Jika melirik akan terjemahan akan lagu ini serta latar belakang munculnya inisiasi dari pencipta. Sangat jelas terkesan makna penderitaan, berjuang atas nama kemanusiaan. Jauh dari unsur politik kekuasaan. Nah, kejelian PKI-lah membuat lagu-lagu dimanfaatkan bukan.
Ya, bisa dianggap lagu genjer-genjer adalah korban politik. Imbas dari getahnya permainan politik masa lalu. Pengekangan karya seni dari kebebasan ekpresi yang ditungangi politisi dan penguasa.Â
Lambat laun terkuak seiring perkembangan zaman, pasca reformasi 1998 tumbangnya orde baru. Maka lagu genjer-genjer bisa terdengar kembali, bahkan yang sama sekali belum tahu. Pada akhirnya dapat mendengar di Youtube, termasuk saya.
Telah banyak contoh lain dari kisah para seniman, budayawan, dan sastrawan pernah mengalami kondisi politik saat itu. Baik semasa orla ataupun orba mengalami intimidasi dari penguasa.Â
Buya Hamka hingga Pramoedya Ananta Toer kisah nyata pahitnya jika kontra pada penguasa, contoh ketika kebebasan ekspresi dizolimi pemerintah. Karya dan kritik mereka dianggap berbahaya, kan.
Terlepas benar atau salah tentang kejadian masa lalu. Namun fakta-fakta seputar indormasi dapat dibaca diberbagai media yang mencoba mengulas kembali peristiwa sejarah dan analis para sejahrawan membedah kebenaran peristiwa itu.
Lalu Bagaimana dengan Sekarang?
Tidak jauh perbedaan apabila dihubungkan dalam politik, meskipun kebebasan ekpresi lebih baik dari sejarah masa lalu. Yakni telah banyak para seniman, budayawan ataupun sastrawan bermain politik untuk sekarang.Â
Berpolitik dalam karya pesanan dari para dalang. Kalau tak percaya kita nantikan, dipilpres mendatang. Keberpihakan mereka, entahlah. Sing penting kebebasan ekspresi tidak dikekang, ya kan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H